"Aku tidak tau kamu membawa banyak makanan lezat, Vie. Aku senang makan malam kali ini tidak melulu tentang merpati. Rasanya seperti sudah lama sekali aku tidak memakan telur." Eleanor menyantap makanannya dengan lahap.
"Terimakasih, Vie." Eleanor tersenyum menatapku. Aku balas mengangguk.
Saat ini kami sedang makan malam. Burung merpati yang Eleanor panah juga sudah di panggang matang. Burung itu terasa hambar karena tidak ada bumbu di sini. Untung saja aku membawa perbekalan sehingga makan malam terasa menyenangkan.
"Apa kamu sudah menemukan jejak Pangeran Essam, El?" Aku bertanya disela-sela makan malam kami.
Eleanor menggeleng. "Belum, aku tidak menemukan apapun, bahkan hanya sekedar jejak kaki. Aku tadi sudah menjelaskan itu bukan padamu?"
Aku menyengir, menggaruk tengkuk. "Benarkah? Aku lupa."
"Dasar."
"Oh iya, El. Jika kamu sama sekali tidak menemukan jejak dari Pangeran Essam, apa Pangeran Essam tidak berada di sini? Mungkin saja dugaanmu salah? Mungkin sebenarnya Pangeran Essam berada di tempat lain? Perkampungan lain? Atau mungkin kerajaan lain?"
"Jujur saja, benar tidaknya aku tidak peduli, Vie. Tujuan jelasku hanya ingin melihat hutan terlarang yang ditakuti warga sekitar. Aku hanya ingin tau, ada apa di sana. Jika Pangeran Essam tidak berada di sini, ya sudah, tujuan kita berarti hanya satu. Lebih mudah, kan? Biar saja Pangeran itu menghilang entah kemana." Eleanor menggidikkan bahu.
"Tapi kamu sampai menemui Raja Elias untuk mencari Pangeran Essam di hutan terlarang," sambungku lagi.
"Aku juga sudah bilang padanya jika ini hanya dugaanku saja, Vie, yang belum tentu benar. Raja Elias sangat mengerti jika Pangeran Essam tidak berada di sana. Bahkan ya, Raja Elias saja berat memberitahu lokasi hutan terlarang ini, dia takut aku tidak akan kembali seperti penduduk lainnya yang tewas karena hutan terlarang. Tapi aku memaksa, dan pada akhirnya, catatan itu diberikan."
"Vienne, sekarang aku tidak memaksamu lagi. Jika kamu ingin kembali, maka aku akan membantumu naik ke atas. Tapi jika kamu ingin memintaku untuk kembali, aku tidak bisa. Tidak mudah untuk sampai di sini, Vie." Eleanor tersenyum lembut menatapku. "Vie, teguhkan hatimu. Kamu mau lanjut atau kembali? Perjalanan kita ini tidak bisa diambil dengan keraguan."
Pertanyaan macam apa itu? Jika bukan untuk menemani Eleanor, buat apa aku susah-susah selama ini melewati omongan pedas Kakek Osh, hawa dingin, dan gelombang tanah itu? Jelas saja aku ingin bersama Eleanor.
Aku tersenyum, mengangguk yakin. "Aku tetap akan menemanimu, El."
"Terima kasih, Vie. Mempunyai teman petualangan sangat menyenangkan."
"Benar." Aku menimpali.
"Saatnya kita tidur! Aku tau kamu lelah sekali seharian ini. Tapi, kamu tidak bisa menemukan kasur di sini, aku biasanya tidur di atas rumput." Eleanor mulai beranjak dari duduknya, berjalan mendekati rumput hijau yang berada di bawah pohon-pohon besar. Aku mengikutinya seraya berkata, "Tidak masalah, kita pernah tidur di atas tanah yang tiba-tiba kebanjiran."
Eleanor tertawa, dia meluruskan kaki dan tubuhnya.
Aku melakukan hal yang sama, berbaring di sebelah Eleanor dengan pemandangan yang langsung menatap pohon besar di atas kepalaku.
"Uh, terlihat mengerikan."
"Tidak akan ada apapun, aku sudah berteman baik dengan hewan jahat di sini." Eleanor bergumam dengan mata terpejam.
Aku tertawa, juga ikut tertidur.
Aku dan Eleanor akhirnya bertemu setelah berhari-hari terpisah. Rasanya menyenangkan sekaligus mengerikan. Hanya soal waktu petualangan kami ini mengancam keselamatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN FOREST [COMPLETED]
Fantasy[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Vienne mengambil keputusan paling buruk dalam hidupnya, yakni menyusul Eleanor, temannya yang pergi dengan tujuan mencari Pangeran Essam yang dikabarkan menghilang tiba-tiba di tempat paling mengerikan wilayah Kerajaan Etter...