Beberapa jam berlalu. Aku menghela napas bosan berkali-kali. Keadaan di dalam sini sangat tidak menyenangkan. Perutku lapar, tapi ada satu kabar baik. Tubuhku terasa mulai membaik, memar-memar biru juga perlahan menghilang. Syukurlah, luka-luka ini tidak bertahan lama meskipun akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan kedepannya.
"Argh! Aku lebih baik bertarung hingga mati dari pada terjebak di dalam ruangan lembab seperti ini! Memangnya kita cacing? Menyebalkan." Eleanor bergumam kesal, melempar sembarang bebatuan kecil yang justru mengenai tangan Pangeran Essam.
"Haduh kena. Maaf ya, Pangeran." Eleanor menyengir sembari menggaruk tengkuknya. Aku menepuk dahi. Tidak bisakah Eleanor sedikit merasa bersalah sudah melempar batu pada seorang Pangeran?
Pangeran Essam tertawa pelan. "Tidak apa-apa, El. Aku juga perlu mengeluh karena ruangan ini benar-benar tidak menyenangkan." Dan yang satu ini, sepertinya Pangeran Essam menganggap kami adalah temannya, selalu santai setiap bercakap. Hanya aku saja yang tetap kaku setiap berbicara dengannya.
Baiklah, mulai sekarang aku akan berusaha bersikap santai juga.
"Mengenai tempat ini, sepertinya udara di sini semakin lama semakin dingin." Aku berujar, berusaha mencari topik. Udara dingin bukan hal yang perlu aku cemaskan. Karena tubuhku tahan akan api, dan itu juga membuatku lebih hangat meski berada di tempat terdingin sekalipun.
Eleanor mengangguk cepat. "Aku memang bisa menahan dingin, tapi ini jelas tidak membuatku nyaman. Lembab, air di mana-mana, cahaya pun, hanya dari api yang dibuat Vie tadi."
"Kalian semua merasa dingin?" Pangeran Essam bertanya, membuatku mengerutkan kening. "Memangnya Pangeran tidak merasa begitu?"
Pangeran Essam menggeleng. "Aku tidak merasa dingin. Tubuhku bisa mengalirkan energi hangat. Juga saat melewati kabut malam yang dingin sebelum memasuki jurang. Mau mencobanya?"
"Bagaimana mencobanya?" Eleanor bertanya bingung.
"Seperti ini." Pangeran Essam mendekat ke arah Eleanor. Perlahan, telapak tangannya menyentuh telapak tangan Eleanor, menggenggamnya dengan erat. Eleanor manggut-manggut memperhatikan sehingga dia merasa energi hangat mulai merambat ke tubuhnya.
"Eh? Benar-benar hangat, Vie." Senyum Eleanor merekah, dia menoleh ke arahku. "Vie, cobalah juga, ah aku menyukai hangat ini."
Aku tertawa, menggeleng. "Aku bisa melakukan hal itu juga, El, jika kamu lupa."
Eleanor merengut, melepaskan tangannya dari genggaman Pangeran Essam. "Benar, Vie bisa menghangatkan tubuhnya juga. Kalian benar-benar beruntung. Jika sedang seperti ini, kalian bisa menghangatkan tubuh seperti serigala yang selalu hangat, dan ketika panas, kalian tahan dengan hal itu."
"Kamu juga seperti itu, El," Pangeran Essam tersenyum geli. "Jika panas datang, tubuhmu akan mudah mengeluarkan energi dingin, sedangkan dalam cuaca dingin seperti ini, tubuhmu akan menyesuaikan, tahan dengan energi dingin. Jadi sebenarnya sama saja kan?"
Eleanor menyeringai. Benar juga. Itu yang aku artikan dari tatapan Eleanor.
Pangeran Essam meneruskan ucapannya. "Namun jika kamu ingin merasa hangat juga, aku bisa membantumu mengalirkannya seperti tadi."
"Jika Pangeran bisa menghangatkan tubuh, apa Pangeran juga bisa mengeluarkan api sepertiku?" tanyaku penasaran.
Pangeran Essam menggeleng. "Sayangnya tidak, Vie. Tubuhku memang bisa menghangatkan, tapi tidak bisa membuat api. Karena itu lah energi ini bisa dialirkan ke tubuh lain, karena tidak ada efek apapun selain membuat tubuh hangat."
Aku mengerti, lalu menatap kedua telapak tanganku. "Sepertinya kekuatan kita ini berbeda, Pangeran, meskipun sama-sama bisa menghangatkan tubuh."
"Maksudnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN FOREST [COMPLETED]
Fantasía[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Vienne mengambil keputusan paling buruk dalam hidupnya, yakni menyusul Eleanor, temannya yang pergi dengan tujuan mencari Pangeran Essam yang dikabarkan menghilang tiba-tiba di tempat paling mengerikan wilayah Kerajaan Etter...