17 - Locked up

24 7 0
                                    

Tes!

Tes!

Mataku mengerjap saat merasakan percikan air mengenai wajahku. Aku hendak menyeka, namun kedua tanganku terasa sangat sakit, sulit untuk digerakkan, tubuhku juga melemas, seperti aku tidak sanggup menahan tubuhku sendiri.

Aku mendongak, menatap sekeliling yang lembab, sekitarku dinding tanah yang basah, lantai tanah yang aku duduki pun sebagian basah karena tetesan air, dan saat mataku melihat sekeliling, aku mendapati Eleanor dan Pangeran Essam duduk tak jauh dariku.

Kondisi Eleanor tampak parah, lebam di pipinya, luka Eleanor bahkan lebih parah dariku. Aku meringis, hampir menangis menyaksikan sahabat yang aku sayangi mengalami hal berat seperti ini.

Aku hendak menghampirinya, namun tubuhku terasa sakit semua, menggerakkan kepala pun rasanya seperti aku tidak punya tenaga.

Aku kembali menatap ke arah Eleanor dan Pangeran Essam. Kondisi Pangeran Essam selalu tampak lebih baik, dia belum sadarkan diri. Tubuhnya tampak gagah, tak banyak luka. Hanya beberapa luka kecil di wajahnya. Aku tidak akan pernah bosan memujinya. Pangeran Essam benar-benar lebih dari pantas menggambarkan seorang Pangeran yang aku ketahui selama ini.

Mata Pangeran Essam terbuka, tak sengaja bersitatap denganku membuat aku langsung tersenyum kikuk, terkejut karena ketahuan sedang memperhatikannya, sembari sedikit menunduk menghormati. "Pangeran sudah sadar?"

Pangeran Essam balas tersenyum, mengangguk. Seperti yang aku lakukan setelah sadar tadi, Pangeran Essam juga melakukan hal serupa, memperhatikan sekitar, dan menatap Eleanor yang belum juga sadar sampai saat ini.

"Sakit sekali." Pangeran Essam meringis, melihat kedua tangannya. "Apa tubuhmu juga merasa sakit, Vie?"

Aku mengangguk, "Rasanya sulit bahkan untuk menggerakkan jari, Pangeran."

"Benar." Pangeran menatap jari-jari tangannya. "Jika aku tidak salah menebak, Balor pasti berencana mengambil energi kita saat kita tidak sadarkan diri." Pangeran Essam memperhatikan tubuhnya lebih saksama, "Namun melihat kondisi kita tampak baik-baik saja di samping luka-luka ini, pasti dia tidak bisa mengambil energi kita secara maksimal karena tubuh kita dan kekuatan kita menolak memberikannya."

"Eh? Bisa begitu, Pangeran? Memangnya tubuh bisa menolak? Lalu, apakah tubuh pengikut Balor juga bisa menolaknya?" Aku bertanya bingung, baru tahu tentang pernyataan ini.

Pangeran Essam menggeleng, menyayangkan. "Tidak bisa, Vie. Tubuh kita bisa menolaknya karena kita memiliki kekuatan alami dari dalam bukan buatan. Setiap merasakan ancaman, tubuh dan kekuatan saling bekerja sama untuk mempertahankan tubuh dan kekuatan itu sendiri, meskipun kita tidak dalam keadaan sadar, istilahnya seperti mereka melindungi rumah. Itu lah sebabnya ketika kita bangun, rasanya sakit semua. Itu karena tubuh kita bekerja secara maksimal." Pangeran Essam menghela napas sejenak, "Berbeda dengan pengikut Balor. Mungkin tubuh mereka bisa menolaknya, namun mereka tidak memiliki kekuatan apapun, tubuhnya tidak bisa bekerja secara maksimal. Dan, sialnya mereka mendapatkan kekuatan buatan yang mereka dapat dari Balor. Kekuatan itu akan selalu mengikuti pemiliknya sendiri, alias Balor."

"Apakah kita bisa pulih kembali, Pangeran?"

"Tentu saja, secepatnya kita akan pulih seperti sedia kala." Pangeran Essam menjawab santai.

Aku mendengarnya dengan takjub. "Dari mana kamu tahu semua ini, Pangeran?"

"Dari buku, catatan-catatan Kerajaan, bahkan ayahku selalu mengatakan satu dua hal penting setiap pertemuan kami. Itu juga merupakan sebuah ilmu."

Aku manggut-manggut. Baru sadar satu hal.

"Pangeran, di mana pedangmu?" Aku tidak melihat pedang Pangeran Essam di punggungnya, di sekeliling kami juga tidak ada pedang itu.

Pangeran Essam meraba punggungnya, mendengkus kesal. "Balor pasti telah mengambilnya."

"Menyebalkan!" Aku menggerutu.

"Tidak apa-apa, Vie. Aku akan merebutnya nanti." Pangeran Essam tersenyum, padahal aku tahu, pedang itu berarti sekali baginya.

Hening menyelimuti beberapa saat. Aku menatap Eleanor saat tiba-tiba saja gadis itu menguap. Aku menatapnya antusias, bertanya cepat, "El kamu sudah sadar?"

Mata Eleanor mengerjap, dia menatapku dengan senyuman manis khas miliknya. Sungguh Eleanor tampak sangat cantik meski wajahnya terluka seperti ini. Aku juga tidak akan menyangkal jika Eleanor adalah gadis tercantik di desa kami.

Sesaat Eleanor menyengir, "Sebenarnya aku sudah sadar sebelum kamu sadar, Vie. Aku hanya mengantuk dan memutuskan untuk tidur saja, ya meskipun tidurku tidak pulas sama sekali dan dapat mendengar semua perkataan kalian."

"Benarkah? Baiklah. Dan yang satu ini, sepertinya kita harus memikirkan bagaimana cara keluar dari tempat ini. Semua sisinya adalah tanah, kita tidak mendapati pintu atau sesuatu yang aneh di sekitar sini." Aku berujar, sedikit mengeluh menatap sekitar. Lihatlah, sekeliling hanya dinding tanah yang terlihat. Bagaimana kami tahu cara keluarnya.

"Pasti ada celah, pintu atau apapun yang menghubungkan ruangan ini dan luar. Aku yakin sekali." Pangeran Essam juga ikut menatap sekitar, meneliti.

"Memang benar, Pangeran. Di sini memang ada celah seperti pintu tak terlihat sesuai katamu. Cuma celah itu hanya Balor yang mengetahui. Tapi tenang saja, tidak lama lagi kita pasti akan keluar dari sini," ujar Eleanor dengan yakin.

Pangeran Essam tampak bingung. "Maksud kamu?"

"Sebelum kita dipindahkan ke sini, aku mendengar salah satu dari mereka mengatakan jika kita adalah tawanan sementara mereka sampai keadaan kita membaik, namun setelahnya jangan tanya padaku, aku juga tidak tahu apa yang akan Balor rencanakan," cetus Eleanor.

Dahiku mengerut, "Tapi bukankah bagus untuk Balor jika kita semua dalam keadaan seperti ini? Kekuatan kita melemah, dalam artian buruk, Balor mudah saja menghabisi kita. Alih-alih melakukan hal itu, Balor justru menunggu kita pulih, itu sungguh hal yang membingungkan."

Pangeran Essam berpikir keras, selang 10 detik, dia menatap aku dan Eleanor dengan pandangan yakin, "Balor tidak akan melenyapkan kita semudah itu jika dia sudah melihat pertarungan kita sebelumnya. Balor sedang dalam rencana buruknya menguasai Kerajaan. Maka dari itu, Balor pasti membutuhkan lebih banyak kekuatan. Dan kita, adalah salah satu dari rencana Balor." Pangeran Essam menjeda ucapannya, "Sebelumnya Balor ingin mengambil energi dalam tubuh kita, itu sia-sia karena tubuh dan kekuatan kita menolak memberikannya pada Balor, maka sudah pasti Balor merencanakan hal lain agar kedatangan kita tidak sia-sia baginya. Dan ada satu cara lain yang bisa Balor lakukan kepada kita. Balor akan menjadikan kita pengikutnya."

Mataku terbelalak, menggeleng keras. "Aku tidak mau menjadi pengikutnya! Tidak akan pernah mau!"

"Aku juga tidak mau, Vie. Aku yakin El juga demikian. Tapi aku rasa itu satu-satunya cara supaya Balor memiliki kekuatan yang lebih besar."

Eleanor yang diam sedari tadi tiba-tiba berujar, "Jika Balor ingin kita menjadi pengikutnya, sudah ada yang mengalami itu secara langsung, kan?" Perlahan, wajah Eleanor menatap Pangeran Essam.

Pangeran Essam tersenyum tipis, "Itu benar, dan aku tidak bisa menebak bagaimana Balor akan melakukannya, itu terasa sangat cepat dan tiba-tiba."

"... dan seandainya aku tahu cara menghubungi dunia luar sana, aku juga butuh seseorang yang lebih kuat dari Balor untuk ada dipihak kita dan mengakhiri semua ini."

Aku bergumam, "Orang yang lebih kuat namun berada dipihak kita." Hanya ada satu nama yang langsung melintas di pikiranku.

"Raja Elias?"

****

To be continued...

FORBIDDEN FOREST [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang