12 - Prince Essam's guess

33 7 0
                                    

Aku menangis kencang memandangi tubuh Eleanor. Tanganku bergetar kala menyentuh wajah Eleanor yang pucat dengan darah mengalir dari mulutnya.

Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa selain merobek ujung bajuku dan menutupi luka terbuka dari perutnya.

"El ... Aku mohon, bertahanlah ... Aku mohon, El ... Demi bibi, demi aku ..., El ... Bertahanlah." Lagi-lagi aku terisak, berusaha memindahkan Eleanor ke tempat yang lebih layak, di bawah sebuah pohon yang rindang, di sana aku menyandarkannya, memandangnya dengan perasaan takut, takut kehilangan sahabatku ini.

"Vienne ..." Suara lirih dan bergetar itu aku dengar dari belakang tubuhku. "Apa yang sudah aku lakukan terhadap El?"

Pelan-pelan aku membalikkan badan, menatap Pangeran Essam yang sudah sadarkan diri. Kini laki-laki itu menatap Eleanor dengan pandangan kosong, kakinya melemah hingga terjatuh di depanku.

"A-apa yang aku lakukan?" Mata Pangeran Essam berkaca-kaca, netranya beralih menatap kedua tangannya yang terkena percikan darah Eleanor. "Semua ini karena aku, kan?" Dengan gemetar, lelaki itu berusaha menggapai Eleanor, namun aku segera menepisnya.

"Maaf Pangeran, apa ini benar-benar kamu? Apa kamu sudah menyadari dirimu sendiri?" Aku bertanya memastikan, takut Pangeran Essam masih seperti sebelumnya.

Pangeran Essam mengangguk. "Ini aku, Vie."

"Pangeran ..." Aku mengusap air mataku yang terus saja mengalir, "Aku takut sekali jika itu bukan kamu."

"Maafkan aku, sungguh maafkan aku." Kepala Pangeran Essam tertunduk dalam. Terdengar nada begitu menyesal dari bibirnya. Dengan mata yang sembab aku mengangguk, kembali menatap Eleanor yang terbaring lemah tak sadarkan diri.

"Pangeran, kondisi El ..."

Pangeran Essam mendekati Eleanor, tangannya menyentuh lembut pipi gadis itu, matanya berkaca-kaca. "El ... Maafkan aku ..."

Aku menatap Pangeran Essam yang diliputi rasa bersalah. Pangeran Essam benar-benar terlihat kacau, bahkan bajunya sebagian robek karena harus menutupi perut Eleanor dengan kainnya, kain milikku tadi tak sepenuhnya bisa menghentikan darah yang keluar.

Saat sedang memikirkan apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan Eleanor, aku teringat sesuatu. Sebuah ramuan yang ibu berikan sebelum aku menjelajahi hutan terlarang.

Iya! Mungkin itu jawabannya.

Aku segera berlari menghampiri tas milikku yang sebelumya tergeletak kotor. Aku mengambil sebuah botol kecil berisi cairan berwarna ungu dari dalam sana. Aku baru ingat tentang ini. Semoga saja ini bisa membantu Eleanor.

"Pangeran!" Aku berseru sembari memperlihatkan botol kecil tersebut.

Pangeran Essam memandangku dengan tatapan bingung. Aku memberi senyum tipis seolah kami masih bisa menyelamatkan Eleanor.

Aku duduk tepat di sebelah Eleanor. "Ibuku seorang tabib, Pangeran. Sebelum ke sini, dia memberikan ramuan ini padaku. Aku yakin sekali, kita masih bisa menyelamatkan El dengan ramuan ini. Ibuku tidak mungkin menyerahkannya tanpa sebab."

Aku membuka penutup botolnya, ku tuangkan cairan itu pada luka Eleanor dengan hati-hati. Pangeran Essam di sebelahku menunggu dengan yakin.

El ... Bertahanlah.

Tidak ada terjadi apapun setelah aku menuangkan cairan berwarna ungu itu hingga 10 menit kemudian, seluruh tubuh Eleanor terbalut oleh cahaya putih bersinar. Senyum di bibirku terbentuk, aku menatap Pangeran Essam senang. "Ramuan itu bekerja, Pangeran."

"Benarkah?" Pangeran Essam tampak takjub, dia menatap Eleanor dengan senyum merekah di wajahnya, dia sungguh terlihat tak sabar.

"Vie, terima kasih banyak. Aku bersyukur kamu membawa ramuan luar biasa itu, sungguh terima kasih, Vienne." Pangeran tersenyum tulus.

FORBIDDEN FOREST [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang