Chapter 1

4.5K 392 14
                                    

Hinata duduk menatap kosong jendela kamarnya yang terbuka lebar. Angin sejuk menusuk tubuh mungil Hinata yang kini terbalut kimono tidur tipis. Tubuhnya yang penuh luka diabaikan begitu saja tanpa berniat mengobatinya terlebih dahulu.

Hinata terlihat begitu kurus, kantung matanya terlihat begitu jelas tanda bahwa selama ini ia kekurangan makan dan tidur.

Malam ini tepat saat bulan dengan indah menampakkan sinar indahnya hari yang paling mengesankan untuk Hinata telah berakhir. Hinata telah genap berusia sepuluh tahun. Seperti tahun tahun sebelumnya tidak ada yang merayakan ataupun mengucapkan sepatah kata selamat.

Sejak kemarin Hinata terus berharap bahwa setidaknya ada satu orang saja yang mengucapkan kata selamat untuknya. Tapi nihil bahkan di detik terakhir Hinata tidak mendapatkan satu ucapan selamat.

Hinata bahkan sudah lupa bagaimana rasanya saat seseorang mengucapkan selamat untuknya. Terlalu langka membuat telinganya benar benar merasa asing dengan kata kata itu.

Hinata memeluk kedua lututnya dengan erat tubuh mungilnya kembali bergetar seiring air mata yang keluar membasahi wajahnya tanpa bisa dirinya tahan.

Satu satunya sosok yang mencintai dan menyayangi Hinata di dunia ini hanya ibunya. Tapi takdir berkata lain karna dengan begitu cepat kami-sama mengambil sosok paling berharga didalam hidup Hinata.

Ibunya meninggal tepat setelah melahirkan adiknya, Hyuga Hanabi.

"Kaa-san.. aku merindukanmu." Lirihan pelan itu keluar dari kedua belah bibir mungil Hinata

Isak tangis pecah saat membayangkan wajah lembut ibunya yang datang ke kamarnya untuk memberikan ucapan selamat padanya dan sebuah kado ditangannya. Hal yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh orang lain hanya ibunya saja.

Kedua tangan mungil itu kian erat memeluk lututnya merendam suara tangisnya agar tidak terdengar keluar kamar. Hinata tidak mau hanya karna suara tangisnya ia membangunkan seluruh orang dan berakhir dihukum. Sudah cukup luka yang memenuhi tubuhnya.

Walau posisi Hinata saat ini masihlah seorang Heires dari klan terhormat Hyuga namun selama ini hidup Hinata tidak lebih baik dari seorang bunke. Bahkan kehidupan seorang bunke jauh lebih baik dibandingkan kehidupan yang Hinata jalani.

Hinata tersiksa, tidak hanya tubuh tapi batinnya juga. Seharusnya seorang Heires memiliki setidaknya satu atau dua orang bunke melayaninya namun hal itu tidak berlaku pada Hinata.

Ia tidak memiliki satupun sosok pelayan disampingnya. Apapun tugas ia lakukan sendiri, bahkan Hinata mencuci seluruh pakaiannya sendiri dan memasak makanannya sendiri.

Hinata dilarang untuk ikut bergabung untuk makan bersama dengan ayahnya dan adiknya Hanabi.

Angin kian kencang menghembus menusuk tubuh mungil Hinata membuat gadis mungil itu pada akhirnya mengangkat wajahnya dan berniat menutup jendela kamarnya.

Hinata tidak boleh jatuh sakit karna terlalu lama terkena angin dingin, musim gugur sebentar lagi akan tiba membuat angin terasa sedikit lebih dingin dari biasa. Lagipula besok ia masih harus berlatih dengan keras agar ayah dan anggota klan lainnya mengakui bahwa Hinata bukanlah sosok yang lemah.

Mengusap air mata yang membasahi wajahnya Hinata meraih jendela kamarnya untuk kembali menutupnya namun sebelum berhasil melakukannya tanpa sengaja matanya melihat bayangan hitam yang bersembunyi dibalik pohon.

Mata merah hampir menyerupai darah itu menatap tepat kearahnya dan hal itu berhasil membuat Hinata mematung untuk beberapa saat.

Tangannya yang hendak menutup jendela kamarnya berhenti, manik amethyst-nya masih menatap lekat mata merah dibalik pohon itu.

Byakungan Princess ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang