Pengakuan

58 1 0
                                    

Pertanyaan ini bikin Ning gelagapan. Belum sempat Ning menjawab, Nina berteriak dari bangku depan.

"Salsa, duduk sini aja! Bangku ini sudah disiapkan buat kamu."

"Gak papa. Aku di sini aja. Makasih, ya."

Bus pun melaju. Tujuan piknik kali ini sebuah taman bermain yang terkenal di kota.

"Gak papa kan aku duduk di sini, Ning?" tanya Salsa basa-basi.

"Eh, iya tidak apa-apa. Aku malah seneng," jawab Ning sambil tersenyum.

Batin Ning bertanya-tanya, "Kenapa Salsa tiba-tiba mau duduk di sampingnya? Apakah dia curiga atau mungkin sudah tahu soal uang itu. Apakah aku mengaku saja?"

Meskipun suasana hatinya sedang kacau, Ning tetap berusaha akrab dengan Salsa. Bagaimana tidak, menjadi kebanggaan bisa berteman dekat dengan Salsa si bintang kelas. Ia pikir teman-temannya pasti iri.

***

"Kamu mau?" Salsa meyodorkan sebungkus keripik kentang ke hadapan Ning.

Dengan senang hati, Ning mengambil beberapa keping kudapan itu.

"Sa, aku ingin bicara," ujar Ning. Ada sedikit keraguan pada suaranya.

"Bicara apa? Bilang saja. Aku dengarkan," kata Salsa dengan wajah penasaran.

Ning hening sejenak di antara riuh tawa dan suara nyanyian teman-temannya yang penuh suka cita di bus itu.

"Aku telah mencuri uang kamu." Suara Ning terdengar berat.

Walaupun sedikit lega karena sudah mengeluarkan yang selama ini ia pendam, tetapi Ning takut. Kedekatannya dengan Salsa yang baru saja ini bisa hancur.

"Apa? Jadi kamu yang mengambil uang itu? Dasar pencuri! Aku tidak mau berteman denganmu lagi!" Salsa memegang bahu Ning lalu mengguncang-guncang tubuh temannya itu dengan keras.

***

"Ning, Ning, bagun! Sudah sampai."

Sayup-sayup terdengar suara memanggil namanya. Ning membuka mata. Ternyata Salsa.

"Oh, sudah sampai, ya?" Ning mengucak lembut matanya lalu bersiap turun bersama teman-temannya.

Dadanya sedikit lega setelah menyadari bahwa kejadian tadi hanya mimpi. Namun, beban di hatinya masih tetap ada. Ia dihantui perasaan bersalah.

Suasana tempat rekreasi yang meriah dan menyenangkan membuat Ning lupa sejenak akan masalahnya. Ia berusaha menikmati fasilitas yang disediakan bersama Salsa dan teman-teman lainnya.

Sejak sebangku di bus tadi, Ning dan Salsa jadi sering bersama, kadang bersama teman-teman dekat Salsa, kadang mereka berdua saja.

Mencoba hampir semua permainan, membuat kedua gadis itu kelelahan. Mereka beristirahat sambil menikmati es krim di bawah pohon ketapang yang rindang. Sekalipun udara pagi menjelang siang itu cukup panas, tetapi pohon itu memberi rasa teduh dan sejuk.

Rasa ingin mengakui perbuatannya kembali terbersit di pikiran Ning.

"Sa, maafkan aku. Aku sudah mencuri uang kamu," ungkap Ning mantap.

Seakan tidak percaya, entah kenapa lidahnya begitu lancar. Semuanya mengalir begitu saja. Mungkin karena suasana hatinya sedang senang.

"Uang apa? Kamu bicara apa sih, Ning?" Salsa bingung.

"Kamu kehilangan uang, tidak?" Ning lanjut bertanya.

"Oh...! Jadi kamu yang ambil uang itu?"

"Iya, Sa. Aku pakai buat membayar uang piknik."

Ning pasrah dan ikhlas dengan apa pun yang akan Salsa lakukan padanya. Ia membayangkan hal yang buruk. Kejadian itu akan diketahui teman-temannya dan ia akan dicap sebagai pencuri selamanya.

"Alhamdulillah!" Salsa tersenyum sambil menarik napas lega. "Uangnya ada yang gunakan."

Ning melongo melihat reaksi Salsa. Ia heran dengan apa yang terjadi.

"Kamu tidak marah?"

"Marah kenapa? Aku malah seneng uang itu ada yang pakai," jawab Salsa sambil tersenyum.

"Aku janji nanti akan ganti. Tapi, dicicil."

"Tidak usah, Ning."

"Aku gak ngerti, Sa. Kamu uangnya dicuri, tapi malah seperti senang." Ning mengungkapkan keheranannya.

"Iya, iya. Aku jelaskan." Salsa menahan tawa. "Uang itu diberikan oleh Ibu untuk digunakan membantu teman yang belum membayar uang piknik."

***

"Teman-teman kamu ada yang belum bayar uang piknik, Nak?" tanya Arini.

"Kata Bu Guru sih masih ada beberapa orang. Tapi tidak banyak," jawab Salsa.

"Ini uang untuk bantu teman kamu. Kamu kasih siapa saja yang sekiranya membutuhkan. Kasihan kalau sampai tidak ikut piknik." Arini memasukkan sejumlah uang ke dalam saku celana Salsa.

"Hemm, siapa, ya yang harus kubantu?" pikir Salsa.

Salsa membawa uang itu ke sekolah. Tanpa ia sadari, titipan ibunya itu jatuh saat mengambil jepit rambut di saku yang sama. Tak ada yang melihatnya saat itu.

***

"Saat menyadari uang itu hilang, aku sangat takut. Bagaimana harus menjelaskan pada Ibu. Tapi, Ibu sampai sekarang belum tanya-tanya. Mungkin Ibu lupa," jelas Salsa.

Mendengar penjelasan Salsa, Ning kini paham apa yang terjadi.

"Jadi, aku benar-benar tidak perlu membayarnya?" tanya Ning meyakinkan.

"Iya. Gak usah dipikirin."

Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih pada Salsa, sampai gadis berambut panjang itu bosan mendengarnya.

"Anak-anak, semuanya kumpul dulu, ya. Kita persiapan salat Zuhur dan makan siang." Suara Bu Ani terdengar lantang.

Tak terasa waktu berlalu. Sebentar lagi masuk tengah hari. Matahari berada di atas kepala. Belum puas Ning dan Salsa menikmati semua wahana. Mereka berencana melanjutkan kesenangannya setelah masa istirahat.

Dalam benaknya, Ning merasa sangat bersyukur. Ingin rasanya ia berjingkrak-jingkrak karena senangnya. Namun, malu dilihat orang. Terbayang wajah ibunya, tidak perlu lagi ia meminta uang tambahan untuk mengganti biaya piknik ini sehingga bisa fokus untuk membiayai pengobatan ayahnya. Ia pun berencana membelikan adik-adiknya makanan yang enak dan bergizi.

"Hai, Ning. Main komidi putar, yuk!" Salsa menarik tangan Ning.

Sontak lamunan Ning buyar. Ia segera berlari memenuhi ajakan Salsa.

Ada dua hal yang Ning sangat syukuri saat ini: terbebas dari utang dan seorang sahabat. Ia berharap kedekatannya dengan Salsa tidak sampai di sini saja, tetapi berlanjut saat di sekolah sehingga ada teman belajar.

Tadinya dia berpikir bahwa piknik sekolah kali ini akan membosankan baginya karena memikirkan bagaimana cara mengembalikan uang temuannya dan ia pun tidak punya teman dekat.

Sebetulnya Ning anak yang ceria dan mudah berteman. Namun, karena ia jarang bermain bersama teman-temannya karena sibuk membantu ibunya jualan menjadikan tidak ada teman yang dekat dengannya. Terlebih, ia kadang merasa kurang percaya diri apabila berteman dengan teman-teman dari kalangan orang berada.


Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang