Patah Hati

44 3 0
                                        

Hari berganti pekan. Pekan berganti bulan. Tidak terasa sudah sebulan lewat dua pekan berlalu. Indra telah menjalani masa kerjanya. Di pekan-pekan awal masa adaptasi ia agak kesulitan menyesuaikan diri dengan ritme kerja di kota. Berbeda dengan waktu di desa, ia bisa lebih santai karena waktu di sana seakan berjalan begitu lambat. Di sini tidak begitu. Semua orang bekerja seperti diburu-buru. Waktu seakan cepat sekali berlalu.

Setelah sebulan belalu, Indra mulai paham dengan keadaan tempat kerja juga lingkungan sekitarnya. Walaupun ia masih harus banyak belajar. Pemuda itu mendapat posisi sebagai operator produksi di sebuah pabrik yang memproduksi sepatu milik teman ayahnya. Berkat kedekatan Gunawan dengan pemilik pabriklah, pekerjaan segera ia dapatkan. Di mana pelamar yang lain harus melalui seleksi ketat.

Saat gajian tiba. Indra tersenyum melihat deretan angka yang tampak di buku tabungannya. Dalam suasana hati bahagia itu, ia hendak mengabari Yani di desa. Namun, belum juga satu kata ditik, ada pesan datang. Dari Yani.

Yani:

Assalamualaikum.

Indra:

Waalaikumsalam.

Yani:

Indra, maaf. Aku langsung saja, ya. Kemarin ada pemuda datang ke rumah bersama orang tuanya. Aku tidak kenal orangnya siapa. Namanya Roni. Katanya dulu satu desa dengan kita, tapi sudah lama pindah. Mereka ke rumah katanya sih mau silaturahmi, tapi aku tahu maksud sebenarnya. Bapak mau menjodohkan aku. Aku harus bagaimana?

Buyar sudah kesenangan Indra pada hari itu. Kabar gembira yang mau ia sampaikan pada Yani seolah hilang begitu saja. Ia merasa terdesak. Ingin meledak rasanya.

Tak mampu lagi ia menggerakkan ibu jarinya untuk mengetik pesan. Indra menelepon Yani berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban.

Indra:

Angkat teleponnya, Yan!!! Aku mau bicara.

Beberapa menit berlalu tidak ada jawaban juga.

Bilang sama bapakmu. Kasih aku waktu. Aku sedang berusaha.

Niat Indra untuk mengabarkan kegembiraannya mendapat gaji pertama urung sudah. Kini hatinya kesal. Sang ibu pun tidak jadi ia hubungi hari itu.

Hingga beberapa hari kemudian Yani sulit dihubungi oleh Indra. Dikirim pesan atau ditelepon pun tidak ada jawaban. Hal ini menjadikan Indra tidak betah di rumah. Ia sering menghabiskan waktu berlama-lama di warung Ning. Mulai merasa nyaman karena ada teman ngobrol yang mau mendengarkan.

Dua pekan kemudian, Indra sudah mulai sedikit melupakan masalahnya dengan Yani. Waktu adalah obat bagi luka hati. Kehadiran orang-orang yang menyenangkan juga bisa mempercepat sembuhnya.

Ting. Bunyi pesan di ponsel Indra. Ia mengambil ponsel yang berada di atas meja. Saat itu ia sedang berada di warung Ning. Pesan dari Yani. Semangat dibukanya.

Yani:

Dra, aku sudah tidak bisa menunggu. Bapak terus mendesak. Aku putuskan untuk jadi TKW ke Arab bareng Teh Titin. Kamu tidak usah cari atau tunggu aku. Kontraknya lama.

Raut wajah Indra seketika berubah. Ia berusaha menghubungi Yani. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada jawaban. Hampir saja ponsel itu dibanting karena kesalnya. Kakinya menghentak-hentak lantai. Napasnya mendengus.

Mendengar suara ribut kecil di warungnya, Ning menghampiri Indra.

"Kenapa, Mas?" tanya Ning.

"Eh, tidak apa-apa, Teh." Indra terpaksa tersenyum karena malu.

Untuk di warung lagi sepi, jadi hanya Ning yang tahu kejadian tadi.

"Saya pikir ada kecoa. Kaget tadi saya,"

"Kalau saya ada di sini, sepertinya kecoa pada takut, Teh." Indra tertawa.

"Ah, bisa saja," ujar Ning sambil tersenyum.

Hari terus berganti. Ditinggal lagi sayang-sayangnya itu sulit untuk dipulihkan. Tanpa kejelasan, Yani seperti menghilang ditelan bumi. Berulang kali dihubungi sama sekali tidak ada tanggapan. Ratusan kali Indra menelepon. Sepertinya nomor Indra sudah diblokir oleh Yani.

Gadis yang menjadi harapan Indra itu memilih menjadi TKW ke luar negeri seperti kebanyakan perempuan muda di desa itu karena iming-iming gaji tinggi sehingga pulang bisa jadi orang kaya di kampung dalam waktu singkat. Ia menolak dijoohkan oleh orang tuanya.

Kini Indra menyendiri dalam kegundahan. Ia tidak menceritakan apa yang sedang menimpanya kepada siapa pun. Mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri, tetapi buntu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Entah mengapa, ketika Indra berada di warung Ning, kenangan buruk yang menimpanya sedikit terlupakan. Padahal di sana, ia hanya mengobrol ringan. Namun bebannya sedikit terangkat.

Tanpa disadari pemuda itu kian hari makin sering berada di warung Ning. Apabila sedang tidak lapar, ia kadang hanya memesan kopi atau the di sana.

Keberadaan Indra di warung tidak luput dari perhatian Mini, ibu Ning. Hingga suatu saat ia berhadapan langsung dengan sang pemuda.

Seperti biasa, Indra datang ke warung Ning sore itu. Ia langsung duduk di tempat favoritnya. Berhadapan langsung dengan tempat Ning biasa duduk. Namun, kali itu ia tidak mendapati Ning di sana. Dari dalam, tampak wanita tua menghampirinya.

"Mau makan, Mas?" tanya Mini.

"Teh Ning ke mana, Bu?" Indra balik bertanya.

"Ning sedang ada urusan keluar. Hari ini Ibu yang jaga warung."

"Oh, begitu. Kalau begitu, saya pulang dulu, Bu. Nanti ke sini lagi," ujar Indra seraya beranjak pergi.

"Lho. Kok. Tidak jadi makan?" Mini tertegun keheranan.

Malam harinya, Ning baru pulang sekitar pukul delapan. Ia segera membantu ibunya tutup warung.

"Tadi ada pemuda yang biasa ke sini." Mini memulai ceritanya.

"Oh, Mas Indra," tebak Ning.

Mini mengangguk, "Kamu ada hubungan apa dengan dia?" tanya Mini menohok.

"Hubungan? Hubungan apa, Bu?"

"Ibu tadi yang tanya. Kok kamu jadi tanya Ibu sih."

"Tadi waktu Ibu kasih tahu kamu tidak ada, dia langsung pulang. Sepertinya dia ke sini bukan mau makan, tapi cari kamu."

"Saya tidak tahu kalau itu, Bu."

"Sepertinya dia ada hati sama kamu."

"Ibu!" Ning menoleh pada ibunya dengan wajah serius. "Dia masih sangat muda, Bu."

"Ning, kamu sudah tidak muda lagi."

Deg. Ning terhenyak. Mini mulai lagi mengungkit-ungkit status lajangnya. Bukan tidak ingin ia menikah. Namun, sebagai perempuan ia tidak bisa terlalu agresif.

"Nanti ibu bantu pendekatannya," ujar Mini seraya berlalu ke dalam dengan membawa baskom berisi sayuran.

Ning tidak bergeming. Ia agak sensitif dan menjadi galau kalau sudah disinggung mengenai usia dan status lajangnya. Ditambah dia masih lelah.

Malam semakin larut. Sepi. Tidak tampak orang berlalu lalang. Ning duduk di bangku panjang tempat orang biasa makan menghadap meja. Kedua tangannya menyamngga dagu. Ia menarik napas panjang. Mencoba melepaskan beban dalam hatinya.

Sebetulnya Ning sudah lelah menyandang gelar lajang ini. Ingin rasanya ia segera menikah. Akan tetapi, dengan siapa? Pemuda-pemuda yang dulu pernah mendekatinya dan ia tolak, kini sudah pada menikah.

"Ning! Masuk!" seru Mini dari dalam rumah. "Sedang apa kamu di situ?"

Ning kaget. Lamunannya buyar. "Eh. Iya, Bu." Ia pun bergegas masuk.

Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang