Cemburu

68 2 2
                                    

Pagi itu, hari begitu cerah. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Menghangatkan badan di udara yang dingin. Embun-embun berkilauan di atas dedaunan.

Sebenarnya pagi itu, Salsa enggan beranjak dari tempat tidur, tetapi ketika ia melihat indahnya cahaya matahari menembus dedaunan dari balik jendela, semangatnya menghangat kembali. Sayang sekali kalau indahnya ini ia lewatkan. Momen yang jarang didapatkan ketika di kota.

Wangi teh melati yang tengah disiapkan oleh Indah sampai ke hidung Salsa. Ia mengajak Dina untuk keluar kamar.

"Sarapan dulu, Neng," ajak Indah.

Di meja makan sudah ada Indra yang hampir menghabiskan nasi telur ceplok dengan kecap.

Salsa dan Dina duduk di kursi makan kemudian mengambil piring yang sudah disediakan. Di hadapan mereka ada dua telor ceplok yang diberi bawang dan cabai goreng di atasnya. Masih hangat. Wanginya sungguh menggoda. Di sana juga ada sebotol kecil kecap manis sebagai pelengkap.

"Ayo! Silakan, Neng," ajak Indah lagi.

Kedua gadis itu tersenyum. Dina mengambil nasi ke piring diikuti oleh Salsa. Nasinya pun wangi. Hasil panen dari sawah di desa itu.

"Sarapan, Bu." Salsa dan Dina berbasa-basi.

Sarapan kali ini sepertinya sarapan ternikmat yang Salsa dan Dina rasakan. Setelah kemarin menempuh perjalanan yang melelahkan ditambah dengan udara yang sejuk, napsu makan mereka bertambah dua kali lipat. Baru kali ini Salsa sarapan sampai nambah dua kali. Walaupun selanjutnya hanya ditemani dengan kecap dan bawang goreng.

Setelah perut mereka terisi penuh untuk bekal energi kegiatan hari ini, Salsa dan Dina ditemani Indra menuju lapangan yang letaknya tidak jauh dari balai desa tempat kemarin berkumpul.

"Kok kamu gak pakai seragam, Dek?" tanya Dina heran.

Saat itu Indra memakai kemeja kotak-kotak biru dengan celana warna krem. Dengan begitu ia tampak seperti bukan anak SD.

"Saya pakai seragam hari Senin saja pas upacara. Hari lain sih bebas," jawab Indra sambil tersenyum.

"Memangnya di sekolahnya tidak wajib pakai seragam, ya?" Salsa ikut penasaran.

"Sebetulnya ada aturannya sih, Kak. Cuma di sini, anak-anaknya banyak yang tidak punya seragam, jadi hanya satu-dua murid yang pakai seragam setiap hari," urai Indra.

"Kamu tidak punya seragam?" tanya Salsa.

"Ada sih, Kak. Tapi, enakan begini. Hehehe."

Setelah melewati perjalanan yang lumayan bikin terengah-engah bagi yang belum biasa, sampailah ketiganya di tujuan. Dari lapangan itu, Indra melanjutkan langkahnya menuju sekolah.

Ada mata yang tidak lepas mengawasi kedatangan Salsa. Arkan tampak sedikit berubah air mukanya ketika Salsa datang dengan seorang pemuda. Apalagi mereka tampak mengobrol sangat akrab.

"Kalau pulangnya mau bareng lagi, nanti aku mampir ke sini." Indra menawarkan diri.

"Boleh. Tapi, Kakak belum tahu kapan selesainya di sini," ujar Salsa.

"Tidak apa-apa, Kak. Nanti aku sekalian lewat, kok."

Indra pun berpamitan untuk lanjut ke sekolahnya.

Uniknya di sini, penduduk desa menganggap jarak dua atau tiga kilometer adalah jarak yang dekat. Mereka akan bilang, "Dekat, kok." Padahal mereka biasa menempuh perjalanan itu dengan berjalan kaki. Lain sekali dengan di kota. Orang kota akan naik sepeda motor atau kendaraan lain untuk jarak yang hanya beberapa puluh meter saja. Jarak lima ratus meter saja sudah dianggap jauh.

Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang