Buk! Ning terjatuh. Kain yang ia kenakan menyulitkannya berlari kencang. Dibelakangnya tampak sesosok hitam laki-laki yang sedang berlari mengejar ke arahnya.
Di hadapan Ning tampak berdiri Salsa. Seperti sedang menimbang-nimbang. Menolong sahabatnya atau berlari menjauh.
Saat sosok pria itu semakin dekat dengan sekejap Salsa mengulurkan tangannya pada Ning. Perempuan itu menyambutnya lalu berlari secepatnya meninggalkan selop yang tadi ia kenakan.
Lelaki itu berhenti lalu mengambil selop yang ditinggalkan Ning.
Kedua sahabat itu terus berlari. Kain dan kebaya putih pengantin yang menyulitkan Ning bergerak cepat tak ia pedulikan. Bunga melati hiasan jilbabnya melambai-lambai terbawa angin. Tangan mereka saling menggenggam dengan erat.
Langkah Salsa dan Ning semakin bersemangat ketika mereka melihat sosok Arkan tidak jauh di hadapan. Namun, langkah mereka terhenti. Selangkah di depan ada jurang yang sangat dalam.
Sebetulnya jarak dari Salsa dan Ning ke tempat Arkan berdiri tidaklah jauh. Namun, satu-satunya jalan saat itu hanyalah melompat. Sanggupkah keduanya melewati jurang itu?
Sosok pria yang mengejar Ning semakin mendekat. Apabila tidak segera ambil keputusan untuk melompat, maka keduanya bisa tertangkap.
Saat jarak pria itu tinggal selangkah lagi, kedua sahabat itu pun memberanikan diri melompat sambil berteriak sejadi-jadinya. Namun, diluar perkiraan, jarak jurang itu seperti melebar. Mereka jatuh ke tengah-tengah jurang. Sekalipun Arkan berusaha meraih tangan keduanya. Tidak berdaya. Tangannya tak sampai.
"Astagfirullahalazim." Salsa beranjak dari tidurnya sambil mengingat-ingat mimpi yang baru saja dialaminya.
Jam dinding menunjukkan pukul satu tiga puluh delapan menit. Detaknya terdengar begitu jelas di telinga Salsa. Mungkin karena lewat tengah malam yang begitu sunyi. Semua orang terlelap dalam tidurnya. Termasuk Arkan yang berbaring di sampingnya.
Air wudu menyegarkan wajah Salsa. Udara dingin tak menyurutkan langkahnya untuk salat malam. Ia mengambil mukena putih bersih lalu mendirikan salat di samping tempat tidurnya. Khusuk.
"Ya, Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Maha pemberi petunjuk." Tak terasa air matanya menetes perlahan. "Hamba mohon petunjukmu. Apa yang harus hamba lakukan selanjutnya? Hamba ingin kebaikan bagi semuanya. Suami hamba, sahabat hamba, keluarga hamba. Maafkan kesalahan hamba, ya Allah."
Tanpa sepengetahuan Salsa, Arkan terjaga dan menyimak apa yang sedang dipanjatkan istrinya. Ia tetap pura-pura tidur agar tidak menggangu.
Di saat yang sama di rumah Ning. Perempuan itu sedang melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Salsa. Salat malam dan berdoa. Ning mengenakan mukena putih. Lampu kamarnya tampak redup.
"Ya, Allah Maha Pemurah. Terima kasih atas segala pertolongan-Mu. Tapi, hamba tidak ingin ada orang yang terluka. Hamba tidak ingin sahabat hamba tersakiti dan keluarganya terusik. Hamba mohon berikan keputusan terbaik bagi kami semua." Air mata Ning mengalir deras. Ia kemudian bersujud memohon pada Sang Pencipta.
Pagi harinya cuaca agak gelap. Matahari seperti enggan menampakkan sinarnya. Gerimis tipis berjatuhan ke bumi. Membasahi dedaunan yang tampak basah berkilauan. Hanya ada satu dua burung yang masih riang berkicau. Sedangkan yang lainnya sepertinya memilih berlindung di sarang atau di tempat teduh.
"Kak, bagaimana kalau hari ini kita jemput Ning pulang," ujar Salsa pada Arkan pagi itu sambil menikmati teh hangat di teras.
"Kalau itu yang terbaik. Tapi, kamu tidak apa-apa?" Arkan menjaga perasaan istrinya yang telah berkorban demi sahabatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rembulan
RomanceSalsa dan Ning bersahabat sejak kecil. Latar belakang keluarga yang berbeda tidak jadi kendala bagi persahabatan mereka. Setelah dewasa persahabatannya berlanjut ke tingkat berikutnya. Salsa terpaksa harus berbagi suami dengan sahabatnya. Hal itu be...