Kembali dengan Petualangan

43 2 0
                                    

Tak bisa dipungkiri, atas semua kejadian di Desa Cikamuning, dada Gunawan terasa lega. Walaupun masing menyisakan tanda tanya besar. Selanjutnya apa?

Maya masih belum buka suara sepanjang perjalanan itu. Entah apa yang ada dalam pikiran perempuan itu. Gunawan tidak bisa menebaknya. Apakah ia menyesal karena apa yang terjadi tidak sesuai rencananya? Atau malah lega karena telah melakukan sesuatu yang dianggapnya benar.

"Nanti di rest area kita beli oleh-oleh buat Salsa ya, Mas." Maya membuka percakapan.

"Iya," jawab Gunawan pendek.

"Aku melakukan semua ini demi rasa kemanusiaan. Seandainya perempuan itu kamu ceraikan, tetap saja, anaknya harus dinafkahi." Maya menoleh pada suaminya.

"Terima kasih kamu sudah mengambil keputusan itu. Kita bisa bergerak ke depan dengan langkah ringan. Eh, maksudnya... ini berat bagi kita semua. Tapi, sekarang sedikit lebih ringan."

Dalam benak Maya kembali tergambar bagaimana dulu ada suatu kejadian yang menimpa keluarga orang tuanya.

***

Saat itu, satu hari setelah ayahnya meninggal. Maya dan saudara-saudaranya masih dalam keadaan berduka. Tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan seorang perempuan muda yang membawa anak kecil. Ia ingin bertemu dengan istri almarhum, ibunda Maya.

Perempuan itu didampingi oleh seorang laki-laki tua yang kemudian diketahui adalah bapaknya. Ia membuat pengakuan yang membuat geger seisi rumah. Tamu asing itu ternyata istri ayah Maya dan bocah itu adalah anak kandungnya dari Bapak.

Hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan perempuan itu, ibu Maya terkulai lemas mendengarnya. Ia merasa seperti jatuh lalu tertimpa tangga. Masa berdukanya belum usai, kini ada masalah lain yang harus dihadapi.

Istri muda Bapak itu menuntut hak waris atas diri dan anaknya. Itu yang dikatakan oleh bapaknya.

Saudara-saudara Maya geram, terutama anak laki-laki. Sempat bersitegang. Mereka hendak mengusir perempuan itu. Namun, sang ibu mencegahnya. Ia tidak ingin ada keributan di rumah dan disaksikan para tamu.

Atas saran keluarga, perempuan itu diminta datang lagi setelah hari ke empat puluh sang almarhum meninggal. Ia dan bapaknya menurut lalu pamit pulang.

Sebetulnya, perempuan yang tampak berusia 25 tahunan itu dalam posisi lemah. Ia dan ayah Maya menikah sirih. Bukti yang bisa ditunjukkan hanya selembar foto pernikahan mereka. Namun, keluarga memiliki kebijaksanaan agar segala kewajiban yang meninggal ditunaikan sehingga tenang di alam sana.

***

Maya terhenyak dari lamunannya saat mobil di rem mendadak. Ada sepeda motor menyalib dari sebelah kanan. Ia menarik napas panjang. Seperti masih ada beban berat di dadanya.

Tidak disangka, apa yang pernah dialami oleh ibunda kini menimpanya. Suami mendua. Tidak ingin seperti dirinya, ia berniat harus memberitahu anak-anaknya. Namun, bagaimana caranya? Kapan waktu terbaik untuk itu? Kini, itu membebani pikirannya entah sampai kapan.

***

Sembilan tahun kemudian ....

Kini, Salsa telah sampai di usia dewasa. Belajar di sebuah kampus negeri ternama di Ibukota. Kecantikannya makin kentara. Dengan hijab yang menutupi aurat, ia makin terlihat anggun.

Lain halnya dengan Ning. Sepeninggal ayahnya saat ia masih kelas dua SMP, ia membantu ibunya yang membuka warung kopi dari tabungan yang selama ini dikumpulkan. Setelah lulus SMA pilihan yang diambil adalah bekerja penuh waktu di warungnya. Kini, warung itu sepenuhnya ia yang kelola. Penghasilannya lumayan untuk membiayai sekolah adik-adiknya.

Ning tidak kalah cantik. Kulit sawo matangnya jadi pemanis. Namun, ada garis-garis tegas perjuangan hidup di wajahnya.

Sang Ibu menyarankan agar putrinya itu segera menikah. Ada beberapa pemuda dan pria berumur yang mau meminangnya. Namun, Ning menolak dengan halus permintaan ibunya. Ia ingin agar adik-adiknya selesai dulu sekolah. Setidaknya mereka bisa belajar hingga lulus SMA.

Kampus tempat Salsa belajar mewajibkan mahasiswanya untuk menjalani Kuliah Kerja Nyata atau KKN. Ia mendapat tugas di sebuah desa yang kelak akan mengubah jalan hidupnya. Desa yang kedua orang tuanya hindari bagi anak-anaknya untuk berkunjung ke sana. Setidaknya untuk saat ini. Desa Cikamuning tempat Indah dan anaknya tinggal.

"Bu, aku akan ikut KKN ke daerah," ungkap Salsa melalui panggilan video.

"Daerah mana?" tanya Maya.

"Nama daerahnya belum diumumkan. Tapi, sepertinya tidak terlalu jauh."

"Kamu pulang dulu kan sebelum berangkat ke sana?"

"Itu dia, Bu. Sepertinya tidak sempat pulang. Mohon doanya saja."

"Ini ayah mau bicara." Maya menghadapkan ponsel pada Gunawan.

"Kamu tidak kangen pada Ayah?" ujar Gunawan.

"Aku kangen sekali pada Ayah dan Ibu. Tapi, banyak persiapan yang harus dilakukan. Nanti, setelah KKN aku langsung pulang deh," jawab Salsa.

"Tapi semuanya aman kan?"

"Aman, Yah."

"Ya, sudah. Ayah dan Ibu doakan agar semuanya lancar."

"Aamiin. Semoga Allah selalu menjaga Ayah dan Ibu."

"Aamiin."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Percakapan itu terjadi sebelum Salsa mendapat kabar tentang penempatannya.

Maya mengakhiri panggilan video itu. Di wajahnya ada sedikit kekhawatiran. Namun, ia pun percaya pada putrinya. Ia yakin Allah akan selalu menjaganya.

Untuk mencapai desa itu tidaklah mudah setelah terjadi musibah robohnya jembatan yang memotong sungai besar penghubung antara dua desa. Setelah menempuh perjalanan dengan kereta selama lima jam, mereka harus lanjut berdesakan dengan angkot selama dua jam.

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki yang bisa menghabiskan waktu hingga dua jam atau sekitar ... kilometer. Dengan jalan yang terjal berbatu makin menyulitkan Salsa dan rombongan mahasiswa untuk melewatinya.

Sekalipun penuh tantangan, sepanjang perjalanan tak ada terdengar keluh kesah dari para mahasiswa. Jiwa muda mereka sedang membara. Semangat sedang tinggi-tingginya.

Dengan barang bawaan pribadi dan barang-barang yang akan disumbangkan di lokasi KKN, perjalanan menjadi makin melelahkan.

"Kita istirahat di sini sebentar!" seru Nanda sang ketua rombongan.

Muda-mudi itu pun berhenti untuk sejenak melepas lelah di samping kandang kambing. Dengan adanya kandang di situ menandakan ada pemukiman penduduk sekitar tempat itu sehingga ada warga yang bisa dimintai bantuannya untuk membawa barang-barang atau hanya sebagai penunjuk arah. Namun, hanya ada satu dua orang lewat jalan itu. Itu pun dengan membawa barang bawaan yang berat, seperti rumput, kayu bakar atau kelapa.

Seketika mata para mahasiswa itu berbinar. Dari kejauhan terdengar suara deru mesin sepeda motor. Harapan mereka, barang bawaan yang berat dan banyak itu bisa terangkut sebagian.

Nanda segera bersiap-siap untuk menghentikan sepeda motor yang hendak lewat. Semakin dekat, harapan mereka semakin besar. Sang pengendara menghentikan motornya. Nanda tersenyum ramah lalu meminta bantuan.

Hanya satu tas ukuran sedang yang bisa terbawa. Pengendara itu membonceng istri di belakangnya dengan barang bawaan cukup banyak. Mereka baru pulang dari pasar yang berada di kecamatan.

Hari berangsur sore. Rombongan itu harus segera tiba sebelum magrib. Jalanan menuju desa pada malam hari membahayakan. Selain terjal, ada jurang yang dalam harus dilewati. Salah melangkah bisa-bisa nyawa melayang.

Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang