Sore itu Gunawan mengemudikan mobil membelah jalan menuju desa Cikamuning. Ditemani cuaca yang sangat bersahabat. Matahari sudah mulai meredup sinarnya memancarkan warna jingga kemerahan di langit sebelah barat. Indah seperti lukisan.
Ini adalah waktunya Gunawan untuk mengunjungi istri mudanya. Sepulang dari kantor, ia pun langsung tancap gas memacu kendaraannya. Sebelumnya ia sudah memberi tahu Maya ke mana ia akan pergi.
Dari sikapnya, Maya tampak baik-baik saja dengan kepergian suaminya menemui sang madu. Namun, di hatinya, setelah sepuluh tahun berjalan, rasa cemburu tetap menyala.
Malam terus merangkak naik. Gunawan terus memacu kendaraannya di jalan tol yang sibuk tiada henti. Ia begitu lelah dan mengantuk. Refleksnya segera menginjak rem ketika ada sebuah mobil yang menepi ke bahu jalan. Dari belakang terdengar suara klakson panjang makin menguatkan sadarnya. Hampir saja ia menabrak mobil itu.
Gunawan Kaget sekali. Setelah menghentikan mobilnya sejenak, perlahan ia pun melajukannya kembali. Rasanya ia hanya terlelap sepersekian detik saja, tetapi hampir saja menyebabkan kecelakaan. Kalau ia tidak segera sadar bisa jadi tabrakan beruntun.
Malam itu Gunawan memutuskan untuk bermalam di penginapan tidak jauh dari area peristirahatan untuk melepas penatnya dan melanjutkan lagi perjalanan setelah subuh. Ia khawatir apabila dipaksakan bisa membahayakan perjalanannya.
Kemungkinan Gunawan akan sampai di rumah Indah pada pagi hari sekitar pukul sembilan. Berbeda dari biasanya sekitar tengah malam atau dini hari tergantung kondisi jalan.
Pagi sudah tiba kembali tanpa bosan menyapa penduduk bumi. Pukul enam tiga puluh, Salsa, Dina dan Indra menyusuri jalan desa menuju sekolah tempat Indra belajar.
Rencananya hari ini Salsa dan para mahasiswa yang lain akan mengajar di sekolah itu. SDN Cikamuning hanya memiliki tiga orang guru untuk mengajar kelas satu sampai kelas enam. Tempat tinggal sebagian siswa yang jauh dari sekolah mengharuskan para guru mencari cara agar siswanya tetap bisa belajar.
Pada saat musim hujan, kondisi jalanan kadang sulit dilalui. Hal itu membuat anak-anak enggan pergi ke sekolah. Tidak jarang, gurunyalah yang menghampiri ke rumah siswa untuk mengajar. Mereka digabung dalam kelompok belajar bagi siswa yang berdekatan rumahnya.
Bu Sutiah sudah mengajar selama lima belas tahun di sekolah itu. Dia dan guru-guru lainnya sangat terbantu dengan kehadiran para mahasiswa KKN.
"Padahal daerah ini tidak jauh dari ibukota ya, Bu. Kenapa sulit sekali mendapat bantuan dari pemerintah, ya?" tanya Salsa membandingkan dengan kondisi saat ia sekolah dulu.
"Mungkin karena penduduk di sini masih sedikit dan rumahnya berjauhan. Penduduk di sini juga masih banyak yang buta huruf sehingga mereka masih menganggap sekolah tidak terlalu penting. Sedangkan orang yang sekolah tinggi masih sangat jarang. Kalau pun mereka sekolah tinggi, jarang yang mau kembali. Biasanya memilih tinggal di kota. Sampai sekarang, hanya kamilah yang bertahan mengajar di sini," urai Bu Sutiah.
Salsa mulai paham, masalah di sekolah ini sangat kompleks. Belum lagi sinyal ponsel sulit dijangkau. Untuk mengakses jaringan internet, harus membayar empat ribu rupiah per jamnya.
Sementara itu, Gunawan sampai juga di rumah Indah. Seperti biasa, ia memarkir mobilnya di halaman depan rumah.
Mendengar suara mobil suaminya, Indah menghentikan kegiatannya beres-beres rumah lalu memastikan kedatangan suaminya dari jendela. Ia pun segera keluar menghampiri sang suami.
"Tumben, Kang datangnya sudah agak siang. Biasanya tengah malam," tanya Indah setelah mencium tangan suaminya.
"Semalam capek banget, jadi nginep dulu. Habis subuh baru jalan lagi," jawab Gunawan sambil mengangkat tas kecil berisi pakaian sedangkan tas berisi oleh-oleh diberikan pada Indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rembulan
RomanceSalsa dan Ning bersahabat sejak kecil. Latar belakang keluarga yang berbeda tidak jadi kendala bagi persahabatan mereka. Setelah dewasa persahabatannya berlanjut ke tingkat berikutnya. Salsa terpaksa harus berbagi suami dengan sahabatnya. Hal itu be...