Genggaman Tangan

36 3 0
                                    

Empat puluh hari kemudian....

"Saatnya sudah tiba, Mas," ujar Maya dengan tatapan tajam.

Tanpa berkata apa-apa, Gunawan berlalu melajukan mobilnya menembus gelapnya malam. Kala itu, jalanan terbilang kosong. Ingin rasanya memacu kendaraannya secepat mungkin, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Sepanjang perjalanan, lelaki itu berpikir keras mereka kata untuk menyudahi pernikahannya dengan mulus.

Mobil itu tiba di depan rumah Indah dini hari. Gunawan menggedor pintu. Ia tampak terburu-buru seperti dikejar sesuatu.

Dari dalam, pintu dibuka.

"Eh, Mas...." Indah terkejut melihat suaminya datang tiba-tiba.

"Kita harus pergi dari sini." Gunawan bergegas masuk. "Kemasi barang seperlunya!"

"Ada apa, Mas?" tanya Indah bingung.

"Nanti aku jelaskan. Kita harus cepat."

Tak lama semuanya siap. Gunawan menenteng tas dan Indah menggendong Indra, bayinya. Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya. Mereka terdiam memaku di depan pintu.

Hujan yang diiringi petir itu menghentikan langkah mereka. Ada yang mengagetkan mereka. Sosok perempuan berdiri di halaman rumah membelakangi mobil. Sekejap kilat menerangi pandangan. Tampak Maya dengan wajah penuh amarah sedang menatap tajam ketiganya.

"Mau ke mana, Mas?" tanya Maya dingin.

Tanpa pikir panjang, Gunawan segera berlari diikuti Indah menuju mobil menembus derasnya hujan. Namun, tidak semudah itu ia kabur dari kenyataan. Tangan Maya begitu kuat menggenggam tangannya, mencegahnya membuka kunci mobil.

"Mas..., Mas..., bangun! Sudah magrib." Maya menggoyang-goyang tangan suaminya.

Gunawan membuka mata. Dilihatnya sekeliling lalu pandangannya tertuju pada istrinya. Wajahnya masih menyiratkan ketakutan. Wajahnya basah oleh keringat.

Setelah sadar dengan keadaan, lelaki itu menarik napas lega. Rupanya hanya mimpi, benaknya.

"Memang benar kata orang, tidak baik tidur sore-sore. Sepertinya Mas mimpi buruk. Kalau mau mandi, handuk dan baju ganti sudah aku siapkan," tutur Maya seraya berlalu dari ruangan itu.

Gunawan hanya mengangguk. Ia beranjak dari sofa tempat ia ketiduran. Disingkapnya tirai jendela. Hari sudah gelap. Di luar sedang hujan deras. Mungkin kalau tidak ingat belum salat magrib, ia akan berdiri lama memandangi hujan yang jatuh menimpa dedaunan di halaman. Mereka tampak berkilauan diterpa lampu.

Hari itu telah tiba. Kini Gunawan benar-benar harus mengambil keputusan pahit itu. Ia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke Desa Cikamuning untuk menemui Indah dan putranya.

Saat hendak memasuki mobil, tiba-tiba ....

"Mas, tunggu!" teriak Maya dari pintu rumah.

Gunawan berhenti. Ia memandangi istrinya dengan wajah penasaran.

"Aku ikut," kata Maya.

Deg. Perasaan Gunawan makin tidak enak. Lelaki itu tidak bisa membayangkan apa jadinya jika kedua istrinya bertemu. Ia tidak mau jadi geger satu kampung.

"Kenapa mau ikut?" tanya Gunawan.

"Hanya ingin memastikan."

"Kamu tidak percaya sama aku?"

"Bukan begitu, Mas. Aku percaya. Aku hanya ingin mendampingi Mas. Ini kan keputusan besar. Aku cuma mau menguatkan hati Mas," urai Maya serius.

"Lalu, Salsa bagaimana?"

"Salsa aman. Tadi pagi sudah dijemput sama Erni."

Rupanya Maya sudah merencanakan ini sebelumnya. Ia sudah mengatur segalanya. Salsa dititipkan di rumah adiknya agar ia dan suaminya leluasa bepergian.

Menjadi tanda tanya besar bagi Gunawan, apa yang sebenarnya akan Maya lakukan di sana. Kenapa tiba-tiba istrinya minta ikut ke rumah Indah. Semoga hal buruk tidak terjadi, doanya dalam hati.

Akhirnya, Gunawan mengalah. Ia mengajak sang istri turut serta. Sepanjang perjalanan keduanya hanyut dalam diam. Seperti sudah kehabisan kata-kata setelah sembilan belas tahun menikah.

Mulut terdiam, tetapi batin mereka terus bertanya-tanya tenatang apa yang selanjutnya akan terjadi. Bagaimana reaksi Indah. Apakah ia akan menerima atau menolak keputusan ini. Apakah dengan menceraikan istri mudanya, kehidupan keluarga Gunawan akan kembali seperti sebelumnya?

Bukan hanya dibayangi pertanyaan mengenai kelanjutan kisah rumah tangganya, pikiran Gunawan sibuk menyusun kalimat yang akan disampaikan pada ibu dari Indra. Kenapa harus dihadapkan pada keputusan sesulit ini, pikirnya.

Cekiiitt!

Tiba-tiba mobil direm. Rupanya ada pengendara sepeda motor yang memotong jalan sehingga hampir tertabrak. Untungnya segera disadari oleh Gunawan. Beberapa detik kemudian, ia membunyikan klakson. Ingin rasanya mengumpat saat itu, tetapi ia memilih diam.

Maya yang terkejut dengan kejadian itu hanya menarik napas sambil melirik ke arah suaminya. Tak seperti biasanya, ia tetap bisu selama perjalanan itu.

Terangnya matahari siang itu dan indahnya pemandangan sepanjang perjalanan tak mampu mencerahkah langit pasangan suami istri itu. Mereka berdua seperti hanyut dalam mendung yang gelap.

Pada sore harinya, keduanya tiba di kediaman Indah setelah sebelumnya sempat berhenti beberapa kali untuk istirahat, salat atau sekedar ke toilet.

Gunawan mematikan mesin mobil. Tidak langsung keluar, ia memandangi pintu rumah itu beberapa saat. Maya yang berada di sampingnya tampak mengamati wajah suaminya.

Perlahan Gunawan membuka pintu mobil lalu keluar. Melihat sang istri tak kunjung keluar, ia membuka pintu mobilnya. Rupanya Maya sedang berdandan. Ia merasa ingin tampil baik di hadapan madunya yang baru pertama akan ditemui.

Setelah menyelesaikan riasan wajah dan merapikan pakaiannya, Maya keluar mengikuti suaminya. Ia menggandeng lengan suaminya dengan mesra. Dari jauh, tampak ada tetangga yang menyadari kedatangan mereka. Rumah di sana memang tidak padat. Rata-rata berjarak sekitar dua ratus meter antara satu dan lainnya.

Rumah itu tampak sepi. Di sekitarnya pun begitu. Hanya suara tonggeret yang terdengar. Serangga yang biasa berbunyi di sore hari itu saling bersahutan.

Tok tok tok!

Gunawan mengetuk pintu lalu mengucap salam. Namun, tak juga ada suara dari dalam. Maya di sampingnya tampak agak gelisah. Ia menggenggam lengan suaminya dengan erat.

Setelah beberapa kali tak ada jawaban, Gunawan membuka pintu lalu masuk bersama Maya. Dilewati ruang tamu lalu ke tengah, tidak ada orang. Ia jadi kagok bergerak karena istrinya memegangi lengannya erat sekali, seolah takut lepas.

Di beberapa ruangan tidak ada siapa-siapa. Keduanya menuju ke kamar. Didapati Indah sedang terlelap di samping sang bayi. Ibu dan anak itu tampak tertidur pulas sekali di kasur yang digelar di lantai.

Di masa awal kelahiran bayi, orang tua akan sering bergadang karena biasanya sang bayi akan sering terbangun tengah malam. Hal ini dialami oleh Indah. Ia pun harus melewati ini sendirian, tanpa dampingan suami.

Beberapa menit berlalu, Indah tidak juga menyadari kehadiran Gunawan dan Maya. Gunawan mengulurkan tangannya hendak membangunkan istri mudanya.

"Jangan, Mas. Biarkan saja. Biar dia istirahat," cegah Maya pelan.

Gunawan menarik kembali tangannya. Ia mengurungkan niatnya.

Sekalipun pelan, rupanya suara Maya membangunkan Indah. Seperti terbawa mimpi. Perlahan perempuan itu membuka matanya. Ia terkejut. Ada dua orang manusia sedang duduk di hadapannya.

"Akang ...?" ujar Indah dengan suara berat karena baru terjaga dari tidur.


Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang