Rencana Mini

26 3 0
                                    


Keesokan harinya, Indra kembali datang ke warung Ning. Sebelum masuk, ia perhatikan dahulu keberadaan Ning. Setelah dipastikan orang yang dicarinya ada, ia masuk.

Seperti biasa, Indra duduk di tempat yang menghadap langsung dengan tempat Ning duduk.

"Makan, Mas?" sambut Ning ramah.

"Iya, Teh." Indra menunjuk lauk yang ingin ditambahkan pada nasinya.

Ning melayani permintaan Indra.

Di Warung itu ada dua orang pria yang juga sedang makan. Namun, duduknya agak berjauhan dengan Indra. Karenanya, Indra bisa leluasa mengobrol dengan Ning. Pemandangan itu tidak luput dari perhatian Mini yang semakin lekat memantau dari belakang.

Selesai makan dan mengobrol sebentar, Indra pamitan. Ia hendak pulang dan beristirahat karena hari sudah menjelang magrib.

"Tunggu, Nak!" seru Mini.

Indra berhenti. Padahal selangkah lagi ia keluar dari warung. Ada apa gerangan? Apakah kembaliannya belum diambil atau malah dia belum bayar makanan tadi? Indra menerka-nerka.

Indra berbalik, "Ada apa, Bu?"

"Ah, tidak apa-apa. Duduklah dulu. Ibu mau bicara," jawab Mini.

Tidak berani menolak, Indra menuruti ajakan perempuan itu.

Selanjutnya, keduanya tampak terlibat dalam pembicaraan serius.

Setelah beberapa saat, Ning baru menyadari keberadaan Indra dan ibunya di dekat pintu keluar warung. Ia berusaha untuk memperhatikan apa yang dibicarakan keduanya. Namun, sia-sia. Percakapan itu tidak bisa ia dengar. Jarak dari tempat Ning ke dekat pintu keluar tidak terlalu jauh. Hanya sekitar sepuluh meter. Sepertinya kedua orang itu berbicara dengan suara pelan.

Walaupun dalam hatinya bertanya-tanya mengenai apa yang sedang Indra dan ibunya bicarakan. Namun, kemudian ia mengabaikannya. Ia kembali mencoba fokus pada tugasnya di dapur. Mudah-mudahan ibu tidak membicarakan dirinya apalagi melakukan sesuatu yang bisa mempermalukannya, harapnya dalam hati.

"Ibu bilang apa?" tanya Ning setelah Indra tidak terlihat lagi.

"Kamu tidak usah tahu," jawab Mini.

"Lho?!"

"Pokoknya kita lihat saja. Besok dia masih datang atau tidak."

"Ibu jangan aneh-aneh."

"Tidak aneh-aneh, Nak. Ini untuk kebaikan kita semua," ujar Mini seraya berlalu ke dalam.

Ning tidak berkata apa-apa. Ia hanya berharap apa yang dilakukan oleh ibunya berbuah kebaikan bagi semuanya. Diri dan keluarganya.

Warung mulai ramai lagi. Ning kembali sibuk melayani pembeli. Meghindarkannya dari melamun atau berpikir yang tidak-tidak.

Esok harinya, Ning kembali dengan kesibukannya di warung. Sesekali matanya menengok ke ujung jalan. Siapa tahu ada seseorang yang sedang ia tunggu kedatangannya.

Dari jauh ia melihat ada seorang pemuda berjalan menuju warung. Mata Ning tampak berbinar. Ini dia, ucapnya dalam hati. Namun, setelah makin dekat, bukan Indra yang datang. Tampaknya pagi ini pemuda itu sarapan di tempat lain.

Sebetulnya, apa yang membuat Ning mengharapkan Indra datang ke warungnya hari itu? Apakah ia mulai meyukai anak muda itu? Mungkin iya. Namun, bukan suka seperti perasaan muda-mudi yang sedang jatuh cinta atau kasmaran.

Indra teman ngobrol yang baik baginya. Lagi pula ia adalah pelanggan setia warung makan Ning. Usia mereka terpaut jauh. Anak muda itu bisa menentukan banyak pilihan untuk masa depannya yang tampak masih panjang. Ning takut dikatakan tidak tahu diri. Semua terlihat tidak mungkin baginya.

Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang