Sirna Sesaat

42 4 1
                                    

Di tengah situasi yang serba canggung itu, ketiga suami istri itu tiba-tiba terusik dengan bau sangit yang menyengat.

"Bau apa ini?" ujar Gunawan sambil mengendus-endus.

Kedua istrinya pun ikut memfokuskan diri untuk mengenali bau apa yang mereka sedang cium saat itu. Baunya begitu akrab di hidung, tetapi terlalu tajam.

"Ya, Allah!! Tempenya gosong!!" Indah refleks menyerahkan bayinya pada Maya yang sedang berada di sampingnya lalu buru-buru berlari ke dapur.

Maya terkejut. Tidak disangka ia akan mendapatkan bayi itu dalam gendongannya. Dalam kondisi itu, naluri keibuannya muncul. Walaupun sejenak sebelumnya, ia tampak bingung.

Tak hanya Maya, sang suami pun sama kagetnya dibarengi sedikit kekhawatiran. Gunawan memberikan kedua tangannya isyarat mau mengambil anaknya. Namun, istri pertamanya dengan isyarat tangan pelan menolak.

Ditatapnya mata bayi mungil itu. Jernih tanpa dosa. Sang bayi tersenyum seraya menggerak-gerakkan tangan dan kakinya begitu semangat karena senang. Maya larut dalam keadaan. Ia membalas senyum si kecil lalu berceloteh menirukan suara anak kecil. Di sampingnya, Gunawan hanya terbengong menatap keduanya.

Tidak berapa lama, Indah kembali masih dengan wajah paniknya. Namun, langkahnya sekarang lebih santai.

"Maaf, Kak. Jadi merepotkan." Indah tergopoh. "Tadi buru-buru. Tempenya sebagian sudah gosong."

Di desa itu hanya ada satu warung. Itu pun letaknya agak jauh dari rumah Indah. Kalau orang di desa itu bilang agak jauh, berarti letaknya sekitar satu atau dua kilometer. Sedangkan yang dibilang jauh biasanya berjarak lima kilometer.

Tempe yang menjadi andalan lauk untuk makan malam mereka bertiga hanya tersisa beberapa potong kecil yang masih layak untuk dimakan. Tambahannya sambal dan lalapan saja. Indah bingung untuk mencukupi kebutuhan makan malam itu.

"Tidak apa-apa. Tadi, Kakak beli ayam goreng di rest area. Cukup untuk makan bertiga," ujar Maya seraya menyerahkan Indra kecil ke tangan ayahnya.

Indah makin merasa tidak enak. Tidak bisa menjamu tamunya dengan baik. Namun, apa mau dikata keadaan begitu adanya. Ia hanya bisa pasrah.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Maya beranjak ke dapur sambil membawa kantong berisi ayam goreng yang tadi ia sebutkan. Menatanya di piring lalu membawanya ke meja makan. Ia pun menggeser-geser tempat nasi, gelas dan piring yang ada di sana supaya tampak indah di matanya.

Tiba waktunya makan malam. Ketiga suami istri itu sudah berada mengelilingi meja makan. Mereka makan dalam diam. Saking heningnya, suara gerak makanan pun terdengar. Di luar, suara jangkrik, gaang dan binatang malam lainnya bersahutan mengiringi suasana malam.

Sang bayi seperti tahu keadaan, ia tidur lebih cepat. Menambah keheningan rumah itu.

Harapan Maya dalam momen kebersamaan mereka, Gunawan segera buka suara mengenai maksud kedatangannya. Namun, hal itu tak kunjung terjadi. Lidahnya terasa kelu dan tenggorokannya seperti tercekat bila mengingat itu. Maka dari itu, suami dua istri itu terus menunda-nunda niatnya untuk bicara. Dia memang tidak ada niat untuk itu.

Sementara itu, dalam benak Indah tidak ada pikiran sampai ke sana. Ia mengira bahwa kedatangan suami dan madunya hanya untuk berkunjung. Walaupun di awal bertemu, ia sempat mempunyai kekhawatiran akan terjadi keributan di rumahnya. Namun, melihat gelagat Maya yang tenang, ia pun menepis pikiran itu.

Tidak ada sepatah kata pun dari ketiganya saat di meja makan. Mungkin mereka sedang berusaha menelan makanan yang disantap. Ayam goreng dengan sambal yang lezat pun jadi tidak membuat berselera dalam keadaan seperti itu. Susah payah menghabiskan makanan di piring masing-masing.

Setelah makan dan mencuci piring, Indah menghampiri dua tamunya di ruang tengah. Ia ingin memberi tahu Maya bahwa kamarnya sudah disiapkan dari tadi sore. Namun, saat ia dapati dua orang itu sedang larut dalam diam, Indah hanya duduk sambil menunggu ada yang buka suara.

Ingin rasanya Indah memecahkan vas bunga atau gelas agar suasana mencair. Akan tetapi, ia memilih untuk menunggu.

Gunawan mulai menyadari kehadiran istri mudanya. "Si Adek nyenyak, ya."

"Iya, Kang." Seperti mendapat kesempatan, Indah lanjut bicara pada Maya. "Kalau Kakak sudah mau istirahat, kamarnya sudah disiapkan. Kakak pasti lelah habis perjalanan jauh. Maaf, hanya begini adanya."

"Iya. Kakak istirahat dulu." Maya beranjak menuju kamarnya.

Malam itu, jam baru menunjukkan pukul delapan lewat lima menit. Namun, suasana hening di desa itu seolah sudah tengah malam. Tidak banyak aktivitas penduduk di malam hari. Mereka memilih untuk istirahat lebih cepat.

Sengaja Maya meninggalkan Indah dan Gunawan berdua agar mereka bisa leluasa untuk bicara. Terutama Gunawan. Apakah sepeninggal Maya ke kamar jadi mempunyai keberanian untuk mengungkapkan maksudnya?

Saat Gunawan ingin mengatakan sesuatu, terdengar suara tangisan bayi dari dalam kamar. Indah beranjak menuju kamarnya. Suara tangisan sang bayi berhenti tak lama setelah ibunya masuk kamar. Tinggallah kini sang suami sendiri di ruangan.

Dalam kesendiriannya, Gunawan tampak gelisah. Dalam kebingungannya, ia putuskan menuju kamar Indah. Ragu-ragu pintu mau diketuk. Tidak jadi. Ia berbalik arah lalu berjalan beberapa langkah. Kembali lagi menuju pintu kamar. Kali ini suami yang sedang galau itu membulatkan tekadnya untuk mengetuk pintu.

"Tok, tok, tok," suara pintu diketuk pelan.

Terdengar suara pintu terbuka. Namun, bukan pintu kamar Indah yang ada di hadapannya melainkan pintu kamar di sebelah yang ditempati istri pertamanya. Maya keluar lalu memandangi suaminya dengan tatapan tajam. Gunawan jadi salah tingkah dibuatnya.

Satu pintu lagi terbuka. Kali ini benar-benar pintu yang ia ketuk. Indah ada di hadapannya sambil membawa bantal dan selimut di tangannya.

"Akang tidur di depan dulu, ya," kata Indah sambil menyodorkan benda di tangannya.

Sudut mata Indah menangkap keberadaan Maya di depan kamar sebelah. Ia menyadari keadaan. Sebaiknya sang suami berada di tempat netral dulu.

Gunawan mengambil bantal dan selimut yang diberikan Indah. Ia pun berbalik menuju kursi panjang yang ada di ruang tengah. Ia sempatkan menoleh ke arah Maya yang masih berdiri di depan kamar. Kemudian pintu kedua kamar itu tertutup kembali.

Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kini sudah memasuki waktu subuh. Gunawan terbangun perlahan. Ia mendengar azan berkumandang dari pengeras suara masjid terdekat.

Terdengar suara orang beraktivitas di dapur. Gunawan melihat seorang wanita sedang menyiapkan sesuatu. Setelah diperhatikan lagi, ternyata Maya sang istri pertama. "Di mana Indah?" tanyanya dalam hati.

Indah baru keluar kamar saat suaminya hendak berangkat ke masjid. Ia tampak masih sangat mengantuk. Bayi di usia segitu masih sering terbangun tengah malam untuk ganti popok atau menyusu.

Lain halnya dengan Gunawan dan Maya. Mereka berdua tertidur lelap sekali malam itu. Hujan lebat menambah dingin udara. Suaranya seperti harmoni yang pengiring tidur. Ditambah lagi keduanya begitu lelah dari perjalanan jauh sehingga masalah pun sirna untuk sesaat. Beruntunglah bagi orang-orang yang masih bisa pulas dalam keadaan punya masalah yang pelik.


Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang