Solusi Ojek

29 1 0
                                    

"Sebetulnya kamu tidak perlu melakukan itu lho, Sa," ujar Ning dalam perjalanan pulang dari sekolah.

"Tidak apa-apa. Aku hanya melakukan yang seharusnya."

Tibalah mereka di pertigaan. Salsa dan Ning harus berpisah di sini. Salsa harus belok kiri untuk sampai di rumahnya sedangkan Ning masih terus lurus.

"Aku lanjut ya, Sa." Ning pamit.

"Eh, tunggu! Aku antar kamu sampai lapangan, ya."

"Sebenarnya, kamu tidak perlu melakukan ini lho, Sa."

"Sepertinya aku pernah dengar kata-kata ini." Salsa tersenyum. "Tidak apa-apa kok, Ning," ujar Salsa seraya terus melanjutkan langkahnya bersama Ning.

Sesampainya di lapangan, kedua gadis SD itu berhenti.

"Sampai di sini saja, ya. Nanti kamu capek."

"Keripiknya masih ada, tidak?"

"Masih." Ning melihat isi kantong plastiknya.

"Aku beli dua, ya." Salsa menghitung beberapa keping uang recehan dan menyerahkannya pada Ning.

"Kamu tidak salah hitung? Uangnya kebanyakan, Sa."

"Tidak apa-apa. Itu untuk ganti keripik yang tadi pagi rusak," kata Salsa sambil memasukkan keripik dari Ning ke dalam tasnya.

"Sebenarnya, kamu tidak perlu melakukan ini, lho...." Salsa dan Ning mengucapkan itu berbarengan. Setelah diam sesaat, keduanya tertawa bersama.

Di halaman sekolah, tampak Miskun, ojek langganan antar-jemput Salsa baru tiba dan memarkir motornya di bawah pohon. Dilihatnya sekeliling sekolahan, tetapi gadis yang akan ia jemput tidak nampak. Ia pun bertanya kepada beberapa orang yang ada di sana, tetapi tidak satu pun yang tahu.

Lelaki usia empat puluh tahunan berperawakan tinggi kurus dan berkulit sawo matang itu tampak khawatir. Ia memang terlambat menjemput siang itu karena harus mengantar penumpang yang lain. Batinnya bertanya-tanya di mana Salsa berada. Apakah sudah pulang duluan atau ada di tempat lain?

Setelah beberapa saat tidak melihat anak yang akan ia jemput, Miskun memutuskan untuk mencari tahu langsung ke rumah Salsa.

Sesampainya di sana, Miskun memarkir sepeda motornya di halaman lalu berjalan menuju teras. Dari dapur, Maya tampak heran melihat sang ojek tidak membawa anaknya. Bergegas ia menghampiri Miskun.

"Lho, Pak, Salsa mana?" tanya Maya khawatir.

"Itu juga pertanyaan saya, Bu. Neng Salsa di sekolah tidak ada. Saya pikir sudah pulang duluan."

Perhatian keduanya teralihkan pada suara pintu pagar. Ada seseorang yang datang.

"Salsa!" ujar Maya. Ada rasa kaget dan senang pada suaranya.

"Pak Mis sudah sampai?" tanya Salsa berbasa-basi.

"Kamu ke mana saja, Sayang? Duh, badan kamu keringatan. Capek, ya?" Pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut Maya yang merasa lega anaknya pulang. Kekhawatirannya sirna.

Maya membawa Salsa ke dalam rumah meninggalkan Miskun yang melongo sambil memegang dadanya. Pria itu akhirnya bisa bernapas lega.

"Kata Pak Miskun sudah tiga hari kamu tidak ada di sekolah waktu dijemput," kata Maya dua hari kemudian.

"Aku lebih senang jalan kaki bareng temanku, Bu," jawab Salsa.

"Ibu tidak melarang kamu jalan kaki. Ibu takut kamu kepanasan dan capek."

"Aku bisa pakai payung."

"Bukan hanya itu. Sebetulnya Ibu kasihan sama Pak Miskun. Anak-anaknya banyak sedangkan penghasilannya cuma dari narik ojek. Kalau kamu tidak mau naik ojeknya, penghasilannya berkurang, dong," tutur Maya.

Mendengar itu, Salsa berpikir. Dalam benaknya berkata, "Betul juga. Kasihan Pak Miskun.Tapi, bagaimana caranya agar ia bisa menghabiskan waktu bersama Ning sepulang sekolah."

Keesokan harinya, Miskun suda siap siaga menjemput Salsa. Bahkan, ia datang sebelum lonceng tanda waktu pulang sekolah berbunyi. Ia tidak mau keduluan lagi.

"Aku duluan ya, Ning." Salsa pamit.

"Iya, hati-hati."

Dengan duduk menyamping dan helm yang terpasang erat di kepalanya, Salsa berlalu dari hadapan Ning dibawa oleh sang ojek.

"Sudah narik berapa orang hari ini, Pak Mis?" Salsa membuka obrolan.

"Ada lima," jawab Miskun.

"Nganter ke mana aja?"

"Masih kecil-kecil, Neng. Paling besar sudah SMP. Paling kecil dua tahun."

Salsa merasa bingung dengan jawaban Miskun. Ia bertanya dalam hatinya, apakah ia yang salah dengar atau memang jawaban pria yang memboncengnya itu yang tidak nyambung. Ia pun mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pembicaraan.

Deru suara mesin sepeda motor dan angin yang berembus mengaburkan suara yang didengar. Baik Salsa maupun Miskun sama-sama tidak mendengar suara lawan bicara dengan begitu jelas.

"Pak Mis, bisa berhenti dulu?" Salsa menepuk pundak Miskun.

Miskun menghentikan sepeda motornya.

"Ada apa, Neng?"

"Aku mau bicara, Pak."

"Kayaknya serius banget ya, Neng? Pak Mis jadi deg-degan."

"Ah, Pak Mis bisa aja." Salsa tersenyum. "Begini, Pak. Mulai besok, Pak Mis jemput aku di sini aja."

Saat itu Salsa dan Miskun sedang berada di persimpangan antara rumah Salsa dan rumah Ning.

"Di sini?"

"Iya. Di sini."

"Bukan di sekolah?"

"Di sini saja, Pak Mis."

"Emmhh." Miskun bingung.

"Pak Mis tidak usah khawatir. Ongkosnya tetap sama, kok."

"Nanti kalau Ibu tanya, bagaimana?"

"Kalau Ibu tanya, nanti aku yang jelaskan. Oke?"

"Okelah, kalau begitu." Miskun mengangkat kedua jempolnya.

Setelah mencapai kata sepakat, Miskun kembali membonceng Salsa melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.


Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang