"Nikahi dia, Mas!" ujar Salsa dengan wajah sungguh-sungguh.
Tatapan matanya tajam, tetapi penuh harap pada sosok laki-laki yang ada di hadapannya. Pikirannya hanya tertuju pada saat ini. Bagaimana ia harus menyelamatkan kehormatan seorang perempuan. Sahabatnya. Soal apa yang terjadi nanti, biarlah jadi urusannya nanti.
"Ta-tapi, kenapa aku?" tanya lelaki itu.
Salsa tidak menjawab pertanyaan itu. Ia memperkuat cengraman tangan di pergelangan suaminya. Sepertinya jaga-jaga agar tidak melarikan diri. Jangan bertanya sekarang, ia juga tidak tahu jawabannya. Semua serba mendesak. Penghulu sudah mau pergi karena menunggu terlalu lama. Ada pernikahan lain yang menanti kehadirannya.
"Pak, tolong panggil Pak Penghulu masuk lagi. Bilang, pengantin laki-lakinya sudah datang," bisik Salsa pada seorang pria paruh baya.
Salsa menarik suaminya ke meja akad. Di sana ada Ning yang hanya bisa menangis meratapi keadaan. Matanya sembab. Pesonanya sebagai pengantin sedikit luntur.
"Apa ini, Sa?" tanya Ning heran saat melihat suami Salsa ditarik untuk duduk di sebelahnya.
"Aku di belakang kalian," jawab Salsa seraya bergerak ke belakang kedua mempelai.
***
Salsa, gadis kecil berumur sebelas tahun dari keluarga berada. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil yang memiliki jabatan tinggi di sebuah instansi pemerintah, sedangkan sang ibu seorang ibu rumah tangga yang telaten merawat keluarga. Ia sangat kagum kepada ayah-ibunya yang tampak selalu rukun dan harmonis.
"Kalau besar nanti, aku ingin menikah dengan laki-laki seperti Ayah," ujar Salsa suatu hari disambut pelukan dari ibunya.
Selain keluarganya yang tampak hampir sempurna, Salsa pun di mata teman-temannya sangat mengagumkan. Wajahnya yang cantik, sikapnya yang sopan dan ramah serta kepintarannya yang di atas rata-rata membuat dia dikagumi banyak temannya di sekolah. Tidak terkecuali Ning, ia adalah salah satu pengagum Salsa.
Seperti kebanyakan anak-anak di kampung itu, Ning adalah seorang anak petani penggarap lahan. Orang tuanya menggarap sawah milik keluarga Salsa.
Ning dan Salsa sama-sama duduk di bangku kelas lima SD.
Untuk membantu ekonomi keluarganya, Ning berjualan keripik dan kacang goreng di sekolah. Hasilnya lumayan, bisa untuk jajan adik-adiknya. Sebagian lagi ditabung untuk keperluan yang lebih besar seperti membeli buku pelajaran, seragam dan sepatu.
Siang itu, Ning sampai di rumahnya. Disambut Mini, ibunya yang sedang berada di dapur.
"Bagaimana jualannya, Ning?" tanya sang ibu sambil mengaduk gorengan di atas tungku kayu bakar.
"Alhamdulillah, Bu. Tadi Neng Salsa borong keripiknya," jawab Ning bangga.
Walaupun Ning sedikit lelah sepulang sekolah, tetapi dia harus segera membantu ibunya membungkus keripik dan kacang goreng untuk dijual besok.
"Bu, piknik sekolah tinggal dua pekan lagi," kata Ning sambil memasukkan keripik ke dalam kantong plastik lalu merekatnya dengan api lilin.
"Berdoa saja, semoga kita segera dapat rezeki." Mini menarik napas panjang pelan-pelan, tidak ingin dilihat Ning.
"Iya, Bu," sahut Ning pendek.
Sebenarnya Ning tidak mau membicarakan hal itu pada ibunya. Ia tidak ingin menambah beban sang Ibu. Sepertinya keuangan keluarganya belum kembali pulih karena orang tuanya mempunyai utang untuk membiayai perawatan bapaknya di rumah sakit.
Sang bapak, Darsa menderita hernia yang harus diangkat. Penyakit yang biasanya dialami oleh para pekerja berat. Kini, setelah operasi, bapaknya tidak bisa bekerja terlalu berat.
Karena itu, ibunya ikut membantu dengan menjual keripik dan kacang goreng yang dititipnya di warung-warung. Sebagian, Ning bantu jual kepada teman-temannya di sekolah.
Pekerjaan menjual keripik, Ning lakukan dengan tanpa beban. Ia merasa senang bisa berguna bagi keluarganya. Terlebih ia adalah anak paling besar, harus memberi contoh pada kedua adiknya yang masih kecil-kecil.
"Apa aku tidak usah ikut saja ya, Bu?" tanya Ning setelah hening beberapa saat.
"Jangan, Nak! Kamu ikut saja, senang-senang sama teman-teman kamu. Soal biayanya gak usah dipikirin," sergah ibunya.
Ning diam. Ia tidak berani melanjutkan lagi. Di satu sisi, dia ingin ikut acara piknik sekolah itu. Namun, di sisi lain dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya, terutama sang ibu.
Siang itu di sekolah anak-anak berhamburan menuju kantin. Namun, Ning diam saja di kelas. Ia tidak ikut membeli makanan karena harus hemat demi bisa ikut piknik sekolah. Ibunya pun tidak sempat membuatkannya bekal karena masih agak gelap sudah berangkat ke sawah.
Saat sedang menahan perih lapar perutnya, seketika matanya tertuju pada benda yang berada di bawah meja temanya. Beberapa lembar uang yang tergulung. Jumlahnya lumayan banyak.
Ning melihat sekeliling. Tak ada satu pun temannya yang berada di kelas. Diambilnya uang itu. Setelah ia hitung, cukup untuk membayar biaya piknik.
"Apakah ini pertolongan, Allah? Jumlahnya pas sesuai dengan biaya piknik. Tapi, ini kan punya orang, punya Salsa. Uangnya ada di bawah mejanya. Pasti punya dia." Pikirannya mulai berkecamuk.
Kembali Ning melihat ke arah pintu dan jendela. Suasana masih sepi. Sepertinya teman-teman sekelasnya masih asyik di luar. Dimasukkanya uang itu ke dalam saku roknya lalu ia beranjak menuju pintu.
Langkah Ning semakin cepat. Ia pun tiba di depan kantin. Sejenak ia diam termangu. Tampak bakwan, cilok dan es sirup seperti memanggil-manggilnya. Dilihatnya Salsa sedang asyik bercanda bersama teman-temannya.
"Apa yang harus aku lakukan?" batin Ning bingung.
Tangan Ning masuk ke saku roknya. Uang itu masih ada.
Waktu keberangkatan piknik semakin dekat. Kalau dihitung-hitung, Ning tidak mungkin bisa mengumpulkan uang sejumlah yang dibutuhkan untuk biayanya jika hanya mengandalkan hasil jualan keripik dan kacang goreng. Belum lagi, uang itu sebagian harus digunakan untuk jajan adik-adiknya.
Lamunan Ning dibuyarkan oleh bunyi bel tanda istirahat sudah selesai.
"Ayo, Ning masuk!" ajak Nina. Ia bersama salsa dan teman lainnya jalan lebih dulu ke kelas.
Ning berbalik lalu mengikuti teman-temannya.
Hari itu tiba. Ning dan teman-temannya akan berangkat piknik. Para orang tua siswa mengantar anak-anak mereka sampai ke parkiran bus.
Dengan terpaksa, Ning berangkat sendiri ke titik kumpul tanpa diantar orang tuanya. Mereka sibuk. Hari ini panen raya akan dimulai. Keduanya harus menyiapkan segala sesuatunya.
Selama menunggu keberangkatan, Ning duduk sendiri di samping jendela. Ia tampak tidak begitu senang ikut piknik kali ini. Tangannya tidak bisa diam, terus memutar-mutar ujung jilbabnya. Pikirannya gusar. Ia merasa jadi pencuri, menggunakan uang Salsa agar bisa piknik.
Waktu keberangkatan hampir tiba, tetapi Ning belum melihat Salsa di dalam bus. Matanya kembali menyapu bangku-bangku di sana. Gadis itu tetap tidak ia temukan.
"Jangan-jangan Salsa tidak bisa berangkat karena uangnya aku pakai," ucap Ning dalam hati.
Saat sopir sudah menyalakan mesin dan siap jalan, tampak ada mobil mendekat dan berhenti di samping bus. Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dan dihiasi pita berwarna merah keluar dari mobil itu diikuti kedua orang tuanya. Salsa baru tiba, hampir saja terlambat.
Melihat itu, Ning terperangah. Hatinya antara senang sekaligus deg-degan. Ia sebenarnya tidak berani bertemu dengan Salsa.
"Bangku ini kosong?" tanya Salsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rembulan
RomantizmSalsa dan Ning bersahabat sejak kecil. Latar belakang keluarga yang berbeda tidak jadi kendala bagi persahabatan mereka. Setelah dewasa persahabatannya berlanjut ke tingkat berikutnya. Salsa terpaksa harus berbagi suami dengan sahabatnya. Hal itu be...