Kembali

32 1 0
                                    

Tiga bulan telah berlalu. Kini tibalah saat para mahasiswa untuk berpamitan dengan warga desa. Salsa dan Dina sudah merapikan barang-barang mereka dan menaruhnya di ruang depan.

"Saya pamit ya, Bu." Salsa mencium tangan lalu memeluk Indah. "Terima kasih sudah mengizinkan kami tinggal di sini. Maaf kalau selama ini merepotkan Ibu."

"Tidak apa-apa, Neng. Ibu malah senang. Jadi ada temannya. Lagi pula Neng Salsa dan Neng Dina sudah bantu warga desa di sini," ujar Indah berkaca-kaca.

Dina menyusul menyalami dan memeluk Indah.

"Oh iya, Bu. Nanti kalau Ibu dan Indra perlu apa-apa, hubungi saya saja," kata Salsa lalu menoleh pada Indra.

"Ayo, Kak aku bantu." Indra mengangkat satu tas besar milik Salsa.

"Ah, kamu. Kenapa tas Kak Salsa yang diambil," goda Dina.

"Sini, Ibu bantu." Indah menawarkan bantuan.

"Eh, tidak apa-apa, Bu. Saya cuma bercanda." Dina merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa, Neng. Sekalian Ibu juga mau ke balai desa."

Dina segera mengambil bawaannya. Tas punggung besar dan tas jinjing berukuran sedang. Karena Indah memaksa, gadis itu menyerahkan tas jinjingnya.

Mereka berempat berjalan menyusuri jalan setapak, jalan pintas menuju balai desa. Salsa menenteng tas besar, Dina dan Indra dengan tas di punggungnya, serta Indah menenteng tas Dina.

Bagi Salsa dan Dina perjalanan yang lumayan jauh dengan membawa barang berat kini tidak terlalu memberatkan karena sudah terbiasa menempuh perjalanan berkilo-kilo meter berjalan kaki. Tidak seperti waktu pertama kali datang ke desa itu, begitu melelahkan.

Setelah berjalan sekitar dua puluh menit, sampailah rombongan itu di balai desa. Di sana telah banyak orang berkumpul untuk melepas kepergian para mahasiswa peserta KKN.

Warga setempat mengadakan upacara pelepasan yang dipimpin oleh Kepala Desa. Dalam sambutannya ia sangat berterima kasih kepada para mahasiswa yang telah membawa kemajuan berarti bagi desa itu.

Sebagai wakil dari para mahasiswa, Nanda memberikan kata-kata perpisahan dan ucapan terima kasihnya atas penerimaan warga.

Kepergian muda-mudi itu ke kota diiringi isak tangis warga desa, terutama bagi yang rumahnya menjadi tempat tinggal mahasiswa.

"Hati-hati di jalan ya, Neng," pesan Indah.

Salsa dan Dina mengangguk lalu menyalami Indah. Mereka berdua tidak bisa menahan air matanya. Keduanya memeluk wanita yang selama beberapa bulan ini sudah seperti ibu sendiri. Sulit rasanya untuk berpisah. Namun, kini tiba waktunya untuk pergi.

Satu per satu para mahasiswa naik ke atas mobil bak terbuka yang dipenuhi ubi hasil panen warga.

Mobil itu akan mengangkut muatannya ke pasar yang berada di kecamatan. Jarang ia ke desa itu. Kedatangannya bisa sepekan sekali atau sebulan sekali. Tidak tentu.

Saat Dina mau naik, Nanda mengulurkan tangannya hendak membantu. Namun, Dina menolak.

"Bukan muhrim," ujar Dina.

Salsa yang sudah lebih dulu naik mobil segera menghampiri Dina dan membantunya naik.

Setelah semua mahasiswa dan barang bawaannya di atas mobil, sang sopir melajukan kendaraannya. Anak-anak desa berlarian membuntuti sambil melambaikan tangan.

Walaupun berat hati para mahasiswa itu meninggalkan desa tempat mereka KKN. Namun, mereka juga kangen sekali dengan keluarga masing-masing. Cukup lama tidak bertemu.

Selama perjalanan, Nanda senyum-senyum sendiri. Ia teringat Dina menolak uluran tangannya saat akan naik mobil tadi. Sesekali ia melirik sekilas ke arah gadis itu lalu tersenyum. Ada bunga-bunga di hatinya yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Awalnya pemuda itu sempat kesal Dina menolak bantuannya. Namun, kemudian ia sadar dan menganggap Dina perempuan yang menjaga kehormatannya.

Setiap peserta KKN mempunyai kenangan tersendiri. Semua punya kenangan indah. Seindah pemandangan sekitar jalan yang mereka lewati. Matahari cerah membelah kabut yang dingin. Menghangatkan.

Sore harinya, di rumah Salsa, Maya sedang harap-harap cemas menantikan kedatangan putrinya.

Tintin. Bunyi klakson terdengar di halaman rumah. Perempuan itu bergegas ke luar rumah menyambut gadis kesayangannya. Salsa menghambur keluar mobil lalu memeluk sang ibu.

"Kangen sekali, Bu," ujar Salsa.

"Ibu juga, Sayang," sambut Maya.

Mereka bertiga kemudian masuk ke dalam rumah.

Maya menuntun anaknya langsung ke meja makan. Di sana sudah terhidang beragam masakan kesukaan Salsa.

"Bu. Ada acara apa?" tanya Salsa terpukau.

"Ya ..., acara penyambutan putri Ibu yang baru pulang melakukan bakti kepada masyarakat," jawab Maya sambil mengisyaratkan putrinya untuk duduk.

"Ibu ini berlebihan. Kami di sana lebih banyak mainnya, kok."

"Pokoknya Ibu kangen sama anak gadis Ibu. Itu saja. Kamu makan yang banyak." Maya mengambilkan potongan daging ke piring Salsa. "KKN-nya di desa apa?"

"Cikamuning."

Maya hampir saja tersedak mendengar nama desa yang disebutkan oleh putrinya. Ia segera minum. Pandangan matanya mengarah pada Gunawan yang sejak tadi lebih banyak diam. Suaminya menunduk, menyibukkan diri dengan makanan di piring.

"Oh, iya. Ayah pernah ke Desa Cikamuning?" tanya Salsa.

Kini giliran Gunawan yang seakan makanannya tersangkut di tenggorokan. Buru-buru diambilnya gelas berisi air di hadapannya. Ia minum sambil berusaha tampak tenang.

"Sepertinya pernah waktu perjalanan dinas." Gunawan menarik napas. Diam sejenak. "Tapi itu sudah lama sekali. Memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa. Beberapa hari lalu, aku melihat mobil yang persis sama seperti mobil Ayah di sana. Sampai-sampai aku mau panggil. Ah, mungkin Cuma mirip."

Sejenak semuanya diam.

"Iya. Sepertinya Cuma mirip." Maya meyakinkan Salsa.

Selanjutnya Maya mengalihkan pembicaraan pada topik lain sehingga pikiran Salsa pun teralihkan.

Sementara itu Gunawan merasa lega pembicaraan itu tidak berlanjut. Padahal tadinya ia sudah gundah. Khawatir Salsa jadi curiga.

***

Sepuluh tahun kemudian.

Waktu berlalu begitu cepat rasanya. Mungkin kita bisa menghentikan perputaran jam, tetapi tidak bisa menghentikan berjalannya waktu. Cepat atau lambatnya sang waktu tergantung siapa yang merasakannya.

Waktu adalah ilusi yang bisa membuat orang melupakan penderitaan. Ia akan terasa panjang dan menyiksa bagi orang yang dalam penantian.

"Kak, hari ini aku pulang terlambat," ujar Salsa dengan nada manja. "Aku ada rapat dadakan. Sepertinya sampai malam. Kakak makan malam sendiri, ya. Tidak apa-apa, kan?"

"Oh, iya. Hati-hati, ya. Jangan lupa makan," pesan Arkan.

Keduanya kemudian menutup panggilan telepon itu.

Sebetulnya, Arkan sedikit kecewa, malam ini ia harus makan sendiri. Namun, apa mau dikata, pekerjaan istrinya menuntut demikian.

Arkan dan Salsa sudah sembilan tahun menikah. Mereka menikah tidak lama setelah Salsa lulus kuliah. Namun, hingga sekarang keduanya belum dikaruniai keturunan. Masih menanti dan berusaha.

Tidak terhitung kiat yang mereka tempuh untuk memiliki anak. Beberapa dokter telah didatangi. Berbagai cara telah dicoba, tetapi hasilnya belum sesuai harapan. Padahal menurut hasil lab, keduanya subur. Untuk mengalihkan rasa sepi dan kecewa, kedua suami-istri itu melarutkan diri dalam kesibukan pekerjaan.

Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang