Indra menyambar ponselnya ketika mendengar ada panggilan masuk. Rupanya dari sang ayah.
"Apa kabar, Nak? Sehat?" Gunawan berbasa-basi setelah saling berbalas salam.
"Baik, Yah."
"Ibu sehat?"
"Sehat, Yah. Gimana, Yah?" Indra tampak tidak sabar dengan kabar yang akan disampaikan ayahnya. Padahal baru tiga hari berselang dari panggilan telepon terakhir.
"Begini, Nak," ungkap Gunawan. "Ayah baru dapat pekerjaan buat kamu di kota. Pekan depan kamu bisa berangkat. Ayah akan siapkan tempat tinggal buat kamu."
Hati Indra senang bukan kepalang mendengar kabar itu. Ia melompat saking girangnya ketika panggilan telepon selesai. Terbayang olehnya suasana kota dan yang paling penting, ia bisa segera melamar Yani.
Sore itu tampak begitu cerah. Mengiringi hati pemuda yang sedang dilanda asmara.
Sepekan kemudian, Indra berangkat ke kota. Diiringi mata yang berkaca-kaca sang ibu. Berat hati Indah melepas keberangkatan putra semata wayangnya. Ia membayangkan menjalani hari-hari sendirian di rumah. Namun, apa daya keinginan Indra begitu kuat untuk memperjuangkan harapannya.
Dengan berbekal tas punggung besar dan dua tas jinjing yang juga cukup besar-besar Indra berangkat naik ojek ke terminal bus untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus menuju terminal bus yang berada di kota tujuan.
Kasih sayang dan harapan sang ibu pergi bersama tas besar yang Indra bawa. Bekal yang disiapkan untuk menjalani kehidupan di perantauan. Walau sebenarnya Indra tidak sendirian di kota. Sang ayah akan selalu mendukung jika diperlukan. Semua sudah disiapkan.
Setelah menjalani perjalanan yang cukup lama di bus, sekitar sembilan jam kemudian Indra sampai di terminal kota.
"Dek, Dek. Sudah samai, Dek." Kondektur bus membangunkan Indra sambil mencolek bahunya.
Indra terbangun. Dilihatnya sekeliling. Di kanan kiri tampak bus terparkir. Ia menoleh pada kondektur yang berlalu lalu mengambil barang-barangnya kemudian turun dari bus itu. Agak susah payah ia membawa tas bawaannya karena kepalanya agak pusing dan mengantuk. Ini kali pertamanya ia melakukan perjalanan jauh. Sendirian pula.
Sore itu cuaca cerah. Hiruk pikuk orang lalu lalang di terminal itu membuat Indra sedikit bingung. Untuk menghilangkan penatnya dan pusing kepalanya, ia menuju kedai kopi yang berada di dalam terminal bus.
Indra berulang kali menengok ponselnya. Namun, jawaban yang diharapkan tak kunjung tiba. Sang ayah belum juga menghubunginya. Dikirim pesan pun belum ada balasan. Kedatangannya pun belum ada pertandanya. Masih di jalan, pikirnya.
Setelah sekitar setengah jam berlalu, Indra mendengar suara seseorang yang dikenalnya.
"Sudah lama?" Gunawan berbasa-basi.
Indra menoleh pada sosok yang berdiri di sampingnya.
"Ah. Lumayan, Yah." Indra mencium tangan ayahnya lalu keduanya pun berpelukan.
Tanpa menunggu lama, Gunawan langsung mengantar anaknya menuju tempat tinggal yang telah disewa.
Sepanjang perjalanan, Indra takjub melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang dan jalan layang yang berkelok-kelok.
"Nanti, kamu juga bisa sekalian belajar nyetir," ujar Gunawan dari belakang kemudi.
Indra menoleh pada ayahnya lalu mengangguk. Pandangannya kembali melihat ke arah jendela mobil. Belum hilang rasa takjubnya.
Mobil yang Gunawan dan Indra tumpangi sudah sampai di tempat tinggal Indra. Kendaraan itu berhenti di parkiran. Dari luar bangunan itu tampak masih baru. Dua lantai. Indra menempati ruangan di lantai dua paling pinggir. Tidak jauh dari tangga. Di dalamnya cukup lengkap, ada ruang tamu, dapur, kamar mandi dan tentu saja kamar tidur. Tidak terlalu luas, seukuran rumah tipe dua satu, tetapi cukup bagi yang tinggal sendiri.
Indra menaruh barang-barangnya di kamar. Ia duduk di atas kasur, merasakan empuknya tempat tidur itu.
"Kamu istirahat dulu di sini. Kalau lapar, di perempatan depan ada warung makan. Ayah tinggal dulu, ya." Gunawan pamit karena hari sudah menjelang senja.
"Iya, Yah," jawab Indra.
"Kamu mulai bekerja pekan depan. Jadi kamu bisa gunakan waktu buat istirahat dan mengenal lingkungan di sini. Kalau ada apa-apa, hubungi Ayah, ya," tutur Gunawan seraya memegang pundak anaknya.
"Iya, Yah." Indra mengangguk.
"Berani kan sendiri?"
"Berani, Yah."
Ayah-anak itu pun tertawa bersama.
Gunawan pun berlalu meninggalkan Indra di tempat tinggal barunya. Sepanjang perjalanan pulang, ia merenung. Indra tidak seberuntung kakak-kakaknya. Bisa bersama dengannya setiap hari. Kini, setelah kedua kakak seayah Indra sudah pergi meninggalkan rumah karena sudah berumah tangga, barulah ia bisa lebih sering bertemu anak bungsunya.
Sayup-sayup suara azan Magrib di masjid membangunkannya dari lamunan. Gunawan sampai di halaman rumahnya. Disambut Maya, sang istri yang keluar rumah ketika tahu suaminya pulang.
Kejadian tadi masih rahasia. Maya belum tahu tentang kedatangan anak tirinya di kota. Semuanya masih berjalan normal.
Setelah sehari beristirahat, dua hari kemudian Indra mulai merasa bosan di kamarnya. Masuk kerja masih beberapa hari lagi. Untuk mengisi waktu luang, ia sempatkan diri berjalan-jalan.
Menjelang tengah hari, perut Indra mulai terasa keroncongan. Ia mampir di sebuah kedai makan yang ada di pinggir jalan.
"Makan, Mas?" tanya seorang perempuan tak lama setelah Indra masuk ke kedai itu.
"Iya, Teh," jawab Indra.
Indra memesan nasi, lauk dan minuman. Ia tampak lahap menyantap masakan yang dipesannya. Tidak lama piringnya sudah bersih. Habis.
"Boleh tanya tidak, Teh?" tanya Indra membuka percakapan.
"Iya, Mas," jawab penjaga warung ramah.
"Tahu alamat ini tidak?" Indra memeperlihatkan secarik kertas berisi alamat.
Perempuan itu mengambil kertas yang diberikan Indra. Ia tampak berpikir.
"Sepertinya alamat ini tidak asing. Mas cari siapa?"
"Namanya Kak Salsa. Dulu pernah KKN di desa saya."
"Oh, iya. Tapi, Salsa sekarang sudah pindah. Sejak menikah, dia tinggal bersama suaminya. Saya kenal Salsa. Dulu, teman sekolah saya," tutur perempuan itu.
"Oh, begitu. Tapi, nomor HP-nya juga tidak aktif, ya."
"Mungkin yang Mas hubungi itu nomor lama. Salsa sudah ganti nomor. Dulu, HP-nya hilang di stasiun waktu pulang KKN. Tidak sempat mengurus, jadinya ganti nomor," urai sang penjaga warung.
Tidak salah lagi. Perempuan penjaga warung itu adalah Ning. Sahabat Salsa.
Setelah lulus SMA, Ning memutuskan untuk melanjutkan usaha ibunya membuka warung makan. Kini, warungnya sudah makin besar dan makin lengkap menunya. Ia tidak lanjut kuliah karena alasan biaya. Adik-adiknya masih butuh biaya untuk sekolah. Ibunya sudah tua dan ayahnya telah lama tiada.
Kini, adik-adiknya sudah lulus sekolah dan keduanya sudah bekerja. Mereka telah mandiri. Setiap bulan mengirimkan uang untuk kebutuhan ibunya.
Hingga sekarang Ning masih melajang. Pernah ada pemuda melamarnya, tetapi ia tolak dengan alasan masih mau fokus biayai adik-adiknya sekolah. Kini, di usia kepala tiga, tidak ada yang mau melamarnya.
"Oh, iya. Nama saya Indra, Teh. Di sini baru. Pekan depan baru masuk kerja." Indra memperkenalkan diri.
"Saya Ningsih. Biasa dipanggil Ning saja," balas Ning.
Percakapan mereka berlanjut tentang Salsa, desa Indra dan seputar kota. Karena baru di sana, Indra banyak bertanya tentang keadaan kota tempat tinggal barunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Rembulan
RomanceSalsa dan Ning bersahabat sejak kecil. Latar belakang keluarga yang berbeda tidak jadi kendala bagi persahabatan mereka. Setelah dewasa persahabatannya berlanjut ke tingkat berikutnya. Salsa terpaksa harus berbagi suami dengan sahabatnya. Hal itu be...