Rahasia Para Dewasa

61 2 0
                                    

Hening. Maya menahan amarah yang memuncak hingga ke ubun-ubun. Mungkin benar apa kata orang-orang, tidak ada perempuan yang rela dimadu. Cemburu membakar dadanya. Ibarat kata daun pun bisa terbakar jika mengenai dadanya. Namun, apa daya, semua itu hanya bisa keluar lewat air mata yang membentuk dua sungai di pipinya.

Selesai bercerita, Gunawan tak menemukan kata-kata lagi untuk diucapkan. Tiba-tiba lidahnya kelu. Pikirannya seolah buntu. Ia tahu apa yang dirasakan Maya.

"Jadi, sekarang apa?" Maya menyiratkan maksud dari pertanyaan itu.

"Semuanya sudah terjadi. Mas akan mempertanggungjawabkan apa yang telah Mas perbuat. Bagaimana pun, Mas tidak ingin ada yang tersakiti," tutur Gunawan.

"Aku, Mas!" sambar Maya. "Hatiku sakit, Mas." Tangisan Maya makin menjadi.

Gunawan mencoba menenangkan istrinya. Ia tidak ingin suara mereka didengar oleh tetangga. Dipegangnya punggung Maya, tetapi segera ditepisnya.

"Apa yang terjadi tidak mungkin diulang kembali. Sekarang, kamu tenang dulu. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Kita bisa melanjutkan hidup seperti dulu." Gunawan sudah tidak tahu lagi harus berkata apa untuk menenangkan sang istri.

"Mas, enak saja bilang begitu. Sedangkan aku ... aku sakit Mas. Dibohongi, dikhianati." Nada suara Maya meninggi.

Gunawan merangkul istrinya yang tengah marah itu. Namun, bukannya tenang, Maya malah berontak, memukul, mencakar wajah dan menjambak rambut suaminya dengan membabi buta. Baru kali ini ia melihat sikap istrinya demikian.

"Lalu, apa mau kamu?" Gunawan merasa terpojok.

"Ceraikan dia!" tegas Maya.

Gunawan melepaskan tangannya dari badan Maya. Ia duduk di sofa lalu berpikir keras.

"Baiklah.Aku akan ceraikan dia. Tapi, beri waktu sampai dia melahirkan."

Maya terdiam. Sepertinya dia sudah kehabisan tenaga untuk sekedar menjawab. Amarah tadi menguras energinya.

Tidak terasa, waktu berlalu. Gunawan melirik jam tangannya. Sudah terlambat banyak rupanya. Ia pun meraih tas lalu mengecup kening istrinya yang masih termenung lalu berangkat ke kantor.

Beruntung, para tetangga di kanan kiri rumah sepertinya sepi sudah pergi bekerja atau aktivitas lain sehingga kejadian ini tidak ada yang tahu. Seandainya ada yang dengar kejadian ini, bisa-bisa geger satu kampung. Seperti pesan berantai, hal seperti ini mudah sekali tersebar.

Di sekolah, Ning dan Salsa dan teman-teman sekelas mereka sedang mendapat pengarahan di kelas karena sebentar lagi akan mengikuti ujian kelulusan.

"Nah, Anak-Anak, kalian harus mempersiapkan diri baik mental maupun fisik, ya. Jaga kesehatan dan jangan lupa berdoa. Belajarnya harus lebih giat lagi mulai dari sekarang," tutur Guru Ani, wali kelas enam. "Siap semuanya?"

"Siap, Bu!" sahut anak-anak serempak.

"Lebih semangat lagi! Siap semuanya?"

"Siap, Bu!!"

Sepulang sekolah, seperti biasa, Salsa dan Ning berjalan kaki hingga di belokan rumah Ning.

"Lulus nanti, kamu mau melanjutkan sekolah ke mana, Ning?" tanya Salsa penasaran.

"Belum tahu, Sa. Aku lihat nilai dulu saja. Kalau kamu sih pasti bagus," jawab Ning bimbang.

"Aku sih maunya kita sama-sama lagi. Sekolah terbaik di sini, ya SMP satu."

"Aku juga mau ke sana. Tapi ...."

"Insyaallah, kita pasti bisa."

Obrolan kedua gadis itu terhenti ketika Miskun datang menjemput Salsa. Setelah berpamitan, Salsa pun berlalu hingga tidak terlihat saat melewati belokan. Ning berbalik melanjutkan perjalanannya ke rumah.

Sesampainya di rumah, Salsa mendapati ibunya sedang termenung di ruang keluarga.

"Oh, Ibu di sini rupanya." Salsa mendekati ibunya untuk cium tangan.

Menyadari kedatangan anaknya, Maya segera menyeka air matanya dan menghiasi wajahnya dengan senyuman.

"Eh, kamu sudah pulang, Nak?"

"Ibu kenapa? Sepertinya habis nangis," selidik Salsa.

"Tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya sedikit pusing. Kalau mau makan, masak sendiri saja, ya."

"Iya, Bu," Jawab Salsa polos. "Ibu sudah makan?"

"Ibu tidak lapar. Kamu makan sendiri saja, ya."

Salsa mengangguk. Setelah berganti pakaian, ia pun pergi ke dapur.

Beberapa waktu kemudian, Salsa menghampiri ibunya dengan membawa semangkok sop.

"Ibu makan dulu, ya. Aku buatkan sop untuk Ibu. Cobain, deh."

"Ibu tidak lapar, Nak."

"Tapi, Ibu kan belum makan. Nanti tambah sakit. Makan dulu, ya," bujuk Salsa.

"Iya. Kamu taruh di situ saja dulu. Nanti Ibu makan."

Setelah menaruh sop di atas meja, Salsa pergi menuju kamarnya meninggalkan Maya yang pikirannya sedang gundah.

Waktu terus bergulir. Petang pun tiba. Gunawan sampai di rumah. Ia mendapati rumahnya sepi. Karena haus, ia pun ke dapur. Didapatinya Salsa sedang duduk menghadap meja makan sambil membaca buku resep masakan.

"Sedang apa, Nak?" sapa Gunawan.

"Nyari-nyari resep masakan, Yah." Salsa menghampiri ayahnya lalu cium tangan.

"Ibu di mana?" tanya Gunawan sambil menuang air dari teko ke gelas lalu meminumnya.

"Di kamar. Ibu sakit."

"Kamu sudah makan?"

"Belum, Yah. Aku bingung mau masak apa. Masakanku tidak seenak Ibu."

"Ya, sudah. Kamu tenang saja. Ayah bawa ayam goreng serundeng kesukaan kamu. Ajak Ibu makan juga, ya." Gunawan menunjukkan kantong kresek yang sejak tadi ia bawa.

"Asyiik!" seru Salsa. "Aku panggil Ibu dulu ya, Yah."

Namun, tak lama Salsa kembali dengan wajah sedih.

"Ibu tidak mau makan, Yah. Katanya nanti saja. Tadi siang juga Ibu tidak makan."

"Ya, Sudah. Kita makan aja dulu. Nanti, Ibu biar Ayah yang bujuk." Gunawan menenangkan anaknya.

Keduanya pun makan. Gunawan mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya bahwa rumah tangganya sedang ada masalah cukup besar. Ia tetap bersikap ceria dan lucu di hadapan putrinya sehingga gadis itu tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Malam semakin lanjut. Gunawan masuk kamar setelah Salsa tidur. Ia mendapati istrinya sedang terbaring di tempat tidur.

Mengetahui suaminya masuk kamar, Maya segera memejamkan matanya, pura-pura tidur. Gunawan menyadari hal itu.

"Kamu gak makan?" tanya Gunawan pelan.

Yang ditanya diam saja.

"Kamu mau sampai kapan begini?" lanjut Gunawan. "Kasihan Salsa. Kalau kamu sakit, siapa yang akan urus dia? Walau bagaimanapun dia butuh ibunya."

Air mata Maya mengalir lagi. Dalam diam, pikirannya berkecamuk.

Beranjak dini hari, Maya mulai merasakan lapar yang sangat. Terang saja, dari pagi ia belum makan. Dalam keheningan malam yang tak lama lagi akan berlalu ditemani suara jangkrik dan desir angin malam, perempuan itu bangun untuk makan. Ia akhirnya menyerah dan mengakhiri mogoknya.


Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang