Matahari Kembali Bersinar

42 3 0
                                    

Keesokan harinya, pagi disambut cericit burung yang melompat bersahutan di dahan-dahan pohon. Matahari kembali muncul bersinar dengan warna jingga yang semakin lama semakin terang.

Selepas salat subuh, Gunawan bersantai sambil minum kopi di depan meja makan. Saat melirik ke arah tempat cuci piring, ia terenyuh. Dilihatnya ada piring kotor di sana. Ia lega, istrinya sudah makan.

Setelah beberapa saat menunggu, istrinya tak juga keluar kamar. Gunawan kemudian beranjak untuk membuat sarapan.

"Ibu masih sakit, Yah?" Salsa masuk lalu mendekati ayahnya.

"Sepertinya, Ibu masih perlu istirahat," jawab Gunawan sambil membalik telor ceplok.

"Aku bantu ya, Yah."

"Iya. Tolong ambilkan piring."

Keduanya tampak begitu akrab dan menikmati momen kebersamaan itu. Hal itu diperhatikan oleh Maya yang sedari tadi berdiri di balik pintu.

Setelah sarapan siap dan tertata rapi di atas meja makan, Salsa baru menyadari kehadiran ibunya.

"Mari, Bu sarapan bersama," ajak Salsa.

"Kalian duluan saja, Ibu ke kamar mandi dulu," jawab Maya seraya berlalu.

Setelah sarapan, Gunawan dan Salsa berpamitan pada Maya.

"Ibu makan, ya. Ayah sudah buatkan nasi goreng dan telor ceplok yang enak," ujar Salsa setelah mencium tangan ibunya.

"Enak mana sama buatan Ibu?" tanya Maya berusaha bersikap wajar.

"Emmhh..., dua-duanya enak." Salsa tersenyum seraya menoleh pada ayahnya yang membalasnya dengan senyuman pula.

Ayah-anak itu pun pergi meninggalkan Maya yang mengantarnya hingga pintu.

Sepeninggal keduanya, Maya yang selama ini banyak termenung mulai menyadari ada banyak pekerjaan rumah tangga yang harus ia kerjakan.

Ia mulai dengan dapur. Tampak bersih. Bekas makan suami dan putrinya sudah kembali ke rak piring. Di meja makan masih ada sepiring nasi goreng dan telor ceplok. Rasa laparnya mulai timbul. Tanpa lama, ia pun menyantap makanan itu dengan lahap. Sepertinya, ia sedang berusaha mengisi kekosongan perut setelah kemarin sempat mogok makan.

Setelah mencuci piring bekas makannya, Maya berpindah ke keranjang cucian. Saat sedang memilah-milah cucian, ia melihat seragam putih merah Salsa di sana. Kembali terngiang di telinganya ucapan Gunawan tadi malam bahwa anak-anak butuh dirinya. Terlebih Salsa yang sebentar lagi akan mengikuti ujian kelulusan.

Air mata Maya kembali mengalir. Sambil menggenggam baju seragam putih Salsa, ia bertekad akan memperjuangkan apa pun untuk kebaikan anak-anaknya.

Mulai sekarang, ia tidak akan membuang-buang energinya untuk menyesali keadaan. Namun, ia akan menyibukkan diri dengan beres-beres rumah. Mencuci, menyetrika, menyapu dan mengepel lantai ia lakukan. Bahkan, benda yang selama ini tidak pernah dijamahnya ia bersikan.

Lumayan melelahkan. Namun, ia puas dengan hasilnya. Rumahnya tampak bersih dan indah. Dengan menyibukkan diri, pikiran buruknya pun sedikit mereda.

Kini, Maya bisa menikmati kembali wanginya teh melati hangat sambil melepas lelah.

***

Beberapa bulan kemudian, tibalah waktunya Salsa dan Ning menjalani ujian kelulusan. Sebelumnya, mereka telah belajar dengan giat demi mendapat nilai terbaik agar diterima di sekolah menengah pertama idaman.

Orang tua Salsa memberi dukungan penuh pada putrinya selama persiapan menempuh ujian. Mereka begitu siap dan yakin dengan kemampuan Salsa.

Namun, ada sedikit perbedaan di keluarga Ning. Ayah dan ibu Ning begitu mendukung pendidikan anaknya dengan segala keterbatasan yang ada. Di balik itu, ada kekhawatiran pada mereka. Bagaimana dengan biayanya?

Kerja keras kedua sahabat itu membuahkan hasil yang manis. Salsa mendapat nilai terbaik di sekolahnya, bahkan ia meraih nilai tertinggi sekecamatan. Begitu pula Ning. Walaupun prestasinya tidak segemilang Salsa, tetapi dia mendapat nilai yang cukup untuk mendaftar ke sekolah favorit bersama sahabatnya.

"Aku mungkin tidak melanjutkan sekolah, Sa," ujar Ning usai pengumuman kelulusan.

"Lho, kenapa?" Salsa terkejut.

"Biayanya. Aku tidak mau menyusahkan orang tua."

"Ning, setiap masalah pasti ada jalan keluar. Kamu tidak usah khawatir. Aku sudah bilang sama Ibu. Ibu siap bantu keperluan kamu sekolah."

***

"Kamu mau melanjutkan sekolah ke mana, Nak?" tanya Maya pada anaknya.

"Sesuai saran Ibu dan Ayah ke SMP Satu," jawab Salsa mantap.

"Di daerah ini memang hanya itu sekolah unggulannya. Yang lainnya jauh-jauh," ujar Gunawan.

"Ning juga mau sekolah di sana. Tapi, masih ragu."

"Ragu kenapa?" tanya Maya penasaran.

"Biayanya, Bu. Padahal nilai ujiannya bisa masuk."

Maya melirik ke arah Gunawan yang duduk tak darinya. Sang suami pun membalas dengan isyarat anggukan wajah.

"Kamu bilang sama Ning. Dia tidak usah khawatir soal biaya. Insyaallah, nanti kita bantu."

"Alhamdulillah. Betul, Bu?" tanya Salsa sumringah.

"Iya. Ibu tidak mau anak Ibu kehilangan sahabatnya."

"Terima kasih, Bu." Salsa memeluk dan mencium pipi ibunya.

"Sama Ayah, enggak?" ujar Gunawan berkelakar.

Salsa pun memeluk dan mencium ayahnya diiringi derai tawa ketiganya.

***

"Nanti, aku malah jadi menyusahkan orang tuamu." Ning merasa tidak enak.

"Tidak usah dipikirkan."

"Tapi, kapan aku bisa bantu kamu?"

"Kamu sahabat aku, Ning. Kamu sudah melakukan lebih dari itu."

Walaupun merasa tidak enak dengan Salsa dan orang tuanya, tetapi sepertinya saat ini, Ning tidak ada pilihan lain selain menerima tawaran sang sahabat.

Orang tua Ning menyambut gembira kabar dari Ning tentang biaya sekolahnya nanti di SMP.

"Alhamdulillah, Nak. Ibu senang ada yang membantu membiayai sekolahmu. Walaupun sebenarnya, Ibu merasa tidak enak dengan Bu Maya dan Pak Gun. Mereka sudah sering bantu kita. Pengobatan ayahmu juga dibantu oleh mereka," tutur Mini.

"Kalau sedang main ke rumah Neng Salsa, jangan lupa bantu-bantu kerjaan di sana. Kita tidak bisa membalas budi mereka." Ayah Ning menambahkan.

"Iya, Ayah, Bu. Insyaallah Ning akan bantu-bantu sebisanya."

Sebagai anak tertua, hanya Ning yang bisa Mini dan Darsa andalkan untuk membantu.


Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang