Menggenggam Dua Tangan

62 4 0
                                    

Fajar sudah mulai terlihat. Jingga di ufuk timur. Langit tampak bersih. Sepertinya hari ini akan cerah.

Gunawan pulang dari masjid. Sejenak ia menikmati udara pagi yang segar. Hawa masih sangat dingin. Ia merapatkan jaketnya. Dalam hati, ia pun mengalunkan doa seperti yang ia panjatkan setelah salat subuh tadi. Harapannya selalu agar semua masalah ini segera ada jalan keluar dan tidak ada hati yang tersakiti.

Di halaman rumahnya, tampak titik-titik air membasahi dedaunan dan bunga-bunga yang hendak mekar menunggu sang mentari menghangatkan.

Pintu rumah terbuka. Tercium wangi teh hijau hangat dipadu dengan aroma melati yang menenangkan. Maya duduk menghadap pintu. Menyambut suaminya dengan hidangan itu. Namun, pandangannya menerawang. Ia seperti sedang melamun. Saat Gunawan masuk pun, ia seperti tidak terlalu menghiraukannya. Larut dalam lamunan pagi yang dalam.

Beberapa saat selelah Gunawan duduk di kursi panjang, Maya mendekatkan cangkir teh pada sang suami. Gunawan menyambut dengan mengambil lalu menyeruputnya. Nikmat sekali tampaknya. Sejenak ia merasakan hangat menerpa tenggorokannya dan sedikit tenang.

"Pakaian sudah aku rapikan. Kita pulang hari ini kan, Mas? Bagaimana urusannya? Sudah beres?" tanya Maya seraya menatap suaminya.

Mendapat pertanyaan seperti itu, ketenangan hati Gunawan terusik. Ia meletakkan cangkir teh di atas meja. Mulutnya ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia hanya bisa menggeleng.

"Ya, sudah. Mas siap-siap dulu saja. Nanti, itu aku yang bereskan," tegas Maya.

Deg. Dada Gunawan makin tidak karuan. Ayah tiga anak itu makin terjepit. Ia tidak ingin melepaskan siapa pun. Dalam hatinya, ia berharap tidak ada drama keributan. Namun, bagaimana mungkin. Saat dua perempuan yang dibakar cemburu berhadapan. Ah, bayangannya makin ke mana-mana.

Tanpa berkata apa-apa, Gunawan beranjak untuk ganti pakaian.

Indah yang sedari tadi tidak kelihatan di ruangan itu, datang menghampiri Maya dengan sepiring pisang goreng hangat. Kemudian ia kembali ke belakang. Tidak lama, ia hadir bersama putranya yang sudah wangi dan bersih selesai dimandikan. Pagi itu, sang bayi dipakaikan pakaian paling bagus berwarna biru muda. Kian hari anak itu makin lucu saja.

Perhatian Maya tertuju pada sang bayi. Pemilik mata bening itu menoleh pada ibu tirinya lalu tersenyum. Terenyuh hati Maya.

Di kamar, Gunawan bersiap-siap. Kegiatannya terhenti ketika mendengar dua istrinya ngobrol. Ia tidak bisa menangkap pembicaraan mereka. Namun, dari nada bicaranya terdengar serius.

Apa yang mereka bicarakan? Apakah Maya mengutarakan maksud kedatangan mereka pada Indah? Apa maksud Maya bilang, "Nanti, itu aku yang bereskan?" Apa reaksi Indah? Banyak pertanyaan di kepala Gunawan yang membuatnya tampak makin gelisah. Ia hanya mondar-mandir di dalam kamar yang tadi ditempati Maya itu.

Sepi. Tidak ada suara dari ruang tamu. Gunawan menjulurkan kepalanya dari balik kusen pintu. Namun, ....

"Eh, kamu ...," kata Gunawan pelan sambil menahan malu dan kaget melihat istri pertamanya sudah berdiri di depan pintu.

Maya pun tampak sedikit kaget.

"Ayo, Mas!"

Ayo apa nih? Gunawan bertanya dalam hati. Melihat raut wajah Maya yang serius, ia tidak banyak bertanya lagi. Ia ambil tas berisi pakaian dan perlengkapan lainnya untuk dibawa ke luar.

"Itu tidak apa-apa, Mas. Nanti saja. Kita bicara dulu saja," cegah Maya.

Gunawan menurut. Ia meletakkan tas itu lalu mengikuti istrinya ke ruang tamu.

Di sana tampak Indah dengan wajah sedikit sayu. Ia berat melepaskan sang suami kali ini. Walaupun sampai saat ini, perempuan itu belum mengetahui maksud kedatangan kedua orang tamunya.

Dua RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang