A.I.

8 0 0
                                    

Di sebuah kota bernama Don-esya. Seorang seniman, pelukis terkenal lahir dan besar di sana, namanya sempat menghebohkan seluruh penjuru kota itu karena lukisan-lukisannya yang sangat mengagumkan. Dia sempat mendapat julukan 'Sentuhan Tuhan' karena karya-karyanya dapat membuat siapapun yang melihatnya merasa terhipnotis, seakan mengajak mereka untuk masuk ke dalam lukisan tersebut.

Beberapa lukisannya sempat terjual dengan harga yang fantastis, mereka rela membayar berapapun agar bisa membawa lukisan-lukisan itu kembali ke rumah masing-masing dan menikmatinya. Bahkan beberapa ada yang dipamerkan pada pameran lukis internasional.

Sang pelukis sangat bangga bisa menghasilkan sebuah karya yang bisa dinikmati semua kalangan, semua usaha dan kerja kerasnya tidak sia-sia, semuanya terbayar sesuai dengan usahanya. Namun, satu hal yang pelukis ini tidak tahu, bahwa Dewi Fortuna tidak akan selamanya berada di sisinya.

Beberapa tahun telah berlalu, kini sang pelukis sudah tidak muda lagi, namun dia masih memiliki semangat lukis yang sama, saat mudanya dulu. Namun sayang, zaman telah berubah, seluruh perhatian sudah tidak terpusat padanya. Lukisan-lukisan yang dulu sering bertengger di pameran, acara seni, pertunjukan seni rupa, sekarang terbaring di sebuah gudang, dengan debu yang menyelimutinya. Meski begitu, sang pelukis tak kehilangan semangatnya untuk tetap menelurkan sebuah karya yang baru.

Sebuah seni seharusnya tidak dinilai dari keindahannya saja, sebuah seni harus dinilai dari cerita yang coba disampaikan kepada seniman untuk penikmatnya. Bukan hanya sebuah gambar tanpa asal usul dan filosofi yang jelas. Setidaknya itulah yang seniman kita tanam dalam pikirannya.

Waktu terus berlalu, namanya kini kian meredup, bahkan tak banyak orang yang mengenalnya di zaman sekarang ini. Karyanya sudah terkalahkan di era yang serba digital ini. Sekarang sang pelukis kehilangan segalanya; usia mudanya, keluarganya meninggalkannya karena tidak bisa menjual satu karya pun hingga dia hidup terpuruk, semangatnya, dan yang terpenting kemampuannya untuk melukis.

Dia selalu mencoba menjual semua lukisannya di pinggir jalan, berharap ada seseorang yang mau membelinya, untuk keperluan hidupnya, namun sayang, orang-orang di zaman ini lebih suka dengan karya digital, ketimbang karya fisik. Dengan karya digital, kau bisa mendapat dua kali lipat lebih murah dari sebuah karya fisik. Tentu saja, mereka membuat dengan sistem yang memungkinkan kita hanya cukup untuk menulis sebuah kalimat, dan dengan instan akan menjadi sebuah gambar.

Sang pelukis terbaring lemas di rumahnya, ditemani ratusan lukisan yang sudah tidak terawat, karyamu menggambarkan siapa kamu. Dia merasa umurnya tidak akan bertahan lebih lama lagi, di sisa-sisa tenaga terakhirnya, dia menuliskan sebuah inisial di lukisan terakhir yang ia buat, A.I..

***

A.I... Tertulis di bagian kanan bawah sebuah lukisan. Sebuah inisial yang tidak banyak orang tahu di zaman ini. Sungguh ironi bagi setiap seorang seniman, karena pahitnya, karyamu akan lebih dihargai apabila kau sudah tiada. A.I. adalah salah satu seniman yang dikalahkan oleh zaman, tidak bisa mengalahkan canggihnya teknologi, hingga semua karyanya terbengkalai. Meskipun sudah tiada, mulai sekarang karyamu akan selalu dikenang. Selamat jalan, Antonio Icaruz.

Creepystory IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang