Selamat membaca.
Typo bertebaran■■■
Tiga koper besar milik Kinanti dan Alvaro sudah berada di ruang tamu. Semua perhiasan yang Romero berikan Kinanti bawa juga kecuali cincin pernikahannya yang selama ini ia pakai, ia menyimpannya di atas nakas bersama cincin pernikahan milik Romero yang sangat jarang pria itu gunakan.
Barang-barang mahal dan mewah Kinanti simpan di tas ranselnya. Semua sudah ia amankan karena itu yang sangat penting.
"Kemarin aku liat ada rumah yang tak jauh dari rumah ini dijual. Mau aku belikan untukmu dan Alvaro?" tawar Romero disela-sela sarapan mereka.
"Kamu nggak usah belikan. Untuk harga rumahnya uangkan saja, kalau perlu lebihkan uangnya dari harga rumahnya. Nanti aku cari sendiri yang sesuai dengan rumah impianku."
"Ok. Nanti aku transfer ke rekening kamu. Sebelum pergi dari sini cek semua kartu-kartu yang sudah aku berikan, jangan ada tertinggal."
"Tentu saja." Kinanti tentu saja sudah memeriksa semua kartu penting itu untuk kelangsungan hidupnya dengan Alvaro. Ia tidak mau rugi setelah pergi dari sini. Belum tentu juga saat pergi dari sini ia mendapatkan pekerjaan dengan ijazah SMA.
Setelahnya hening. Calon suami istri itu melanjutkan sarapan dengan hening. Tapi Romero terus mencuri pandang menatap mata bengkak Kinanti. Ia tahu penyebab dan alasan mata bengkak itu.
Alvaro yang duduk di samping Kinanti memakan sarapannya sangat lamban. Berbeda dengan Laura yang makan sarapannya dengan semangat.
"Mama, Bang Al kok nggak sekolah sih? Kan Bang Al lagi nggak sakit, Ma."
Kinanti tersenyum tipis menatap Laura yang duduk di depannya. "Bang Al mau nemenin Mama jenguk temen Mama di rumah sakit makanya nggak sekolah dulu."
"Kenapa aku nggak diajak, Ma?"
"Kamu lupa, ya, Dek, kamu kan nggak tahan sama bau rumah sakit. Makanya Mama nggak ajak kamu."
Laura cemberut. "Padahal aku juga nggak mau ke sekolah."
"Loh kenapa, Dek?"
"Sekolah nggak seru kalau Bang Al nggak ada."
Kinanti tersenyum miris mendengar itu. Apalagi jika tahu besok dan seterusnya Alvaro tidak ada di sekolah mereka lantaran ia sudah mengambil surat pindah dari sekolahnya. Apakah Laura baik-baik saja tanpa kembarannya.
Ah, Kinanti lupa jika ada Sarah. Calon ibu Laura itu pasti punya 1001 cara untuk menghibur gadis kecil.
"Kamu harus sekolah, Dek. Nanti kita jalan-jalan ke Mall kalau kamu udah pulang sekolah."
Laura menatap binar papanya. "Beneran, Pa? Sama Tante Sarah, kan?"
"Iya, Sayang. Sekarang kamu sekolah dulu."
Lihat kan, bahkan yang pertama terlintas di pikiran gadis kecilnya adalah Sarah. Kinanti hanya berada di opsi kedua jika Sarah tidak ada.
Seperti tahu perasaan mamanya. Alvaro mengelus lengan Kinanti menggunakan tangan kecilnya.
Kinanti menatap Alvaro sambil tersenyum kecil. "Terima kasih, Sayang," gumamnya.
Alvaro mengangguk kecil sebagai jawaban. Sebenarnya ia masih bingung apa yang sebenarnya terjadi pada mama dan papanya. Kenapa mamanya membawa satu ransel besar dan tiga koper besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgive Me, Mom [END]
ChickLit"Ma, bisakah Mama pergi dari rumah ini?" Wanita yang tengah mengepang rambut panjang gadis kecilnya itu tertegun mendengar permintaannya. Apakah ia salah dengar? Bagaimana mungkin gadis kecilnya yang baru berusia enam tahun mengatakan ingin dirinya...