Dulu, Ramadhan buat Rana cuma tentang bangun sahur, puasa, dan ngabuburit nunggu buka. Tapi tahun ini? Rasanya lebih kayak ujian kehidupan. Bayangkan, bangun sahur sambil ngurus bayi, ditambah harus mengejar gelar sarjananya, lalu tetap harus jadi i...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menyambut bulan Ramadhan pertama bersama suami dan anak tentu menjadi pengalaman baru bagiku. Jika sebelumnya makanan untuk berbuka dan sahur sudah tersaji di meja tanpa perlu kupikirkan, kini akulah yang bertugas menyiapkannya.
Aku, Rananta Nismara—akrab disapa Rana—adalah istri dari seorang dokter bernama Raditya Adicandra dan ibu dari Rhea Aneisha Adicandra yang baru berusia tujuh bulan. Menjadi seorang ibu baru tidaklah mudah; ada banyak tantangan luar biasa yang harus kuhadapi setiap hari.
"Besok sahur pertama masak apa ya?" gumamku sambil membuka kulkas, meneliti bahan makanan yang tersisa. Memikirkan menu harian memang menjadi dilema tersendiri bagi seorang istri.
Sambil menunggu suamiku pulang dari rumah sakit, aku merebahkan diri di sofa, ditemani stoples camilan dan drama Korea yang tengah tayang di televisi. Di samping kepalaku, sebuah monitor CCTV menampilkan kamar Rhea—sebagai langkah antisipasi jika sewaktu-waktu dia terbangun dan menangis.
"Ran... Sayang, bangun yuk, pindah ke kamar." Sentuhan lembut di pipiku membangunkanku. Aku terkejut melihat wajah Mas Radit begitu dekat.
"Kamu kapan pulang, Mas?" Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 21.45. Sontak aku bangkit, sedikit panik. Aku ingin mengambilkan minum untuknya, tapi kesadaranku belum sepenuhnya terkumpul. Sementara itu, aku juga khawatir kalau Rhea terbangun, sedangkan aku masih setengah tidur.
"Mungkin sekitar setengah jam yang lalu. Tenang, Rhea masih tidur di kamar," jawabnya. Baru sekarang aku sadar, Mas Radit sudah berganti pakaian dengan kaus lengan pendek dan celana selutut. Rambutnya pun masih basah.
"Kok nggak bangunin dari tadi? Aku sebenarnya nungguin kamu pulang, tapi malah ketiduran. Udah makan belum?"
Dia mengangguk sambil duduk di sofa yang tadi kutiduri. Aku bergegas ke dapur, membuatkan segelas air lemon madu—minuman wajibnya setiap pulang kerja atau saat kelelahan. Setelah selesai, aku kembali ke ruang tengah dan menyerahkan gelas itu padanya.
"Besok sahur pertama, ada request atau ide nggak mau makan apa? Aku bingung mau masak apa."
"Apa aja deh," jawabnya santai.
Percuma sebenarnya bertanya. Jawabannya selalu 'apa aja deh', atau kalau tidak, 'terserah', atau yang lebih klise, 'apapun yang kamu masak, aku makan'.
"Kasih ide dong sesekali, pusing aku mikirin menu sahur. Kalau tiap hari masak telur, nanti kamu bisulan," keluhku, sedikit merajuk.
Mas Radit tertawa kecil. "Aku kan nggak tahu bahan yang ada di rumah. Kalau aku request, terus ternyata nggak ada, kamu malah tambah pusing."
Ya sudahlah. Paling nanti seadanya saja. Mentok-mentok, telur ceplok dan nugget goreng.
"Dah yuk tidur, mata kamu tinggal segaris gitu. Masak apa aja besok, telur pun nggak apa-apa, yang penting kamu nggak kerepotan." Kami berjalan menuju kamar. Aku mematikan televisi, sementara Mas Radit bertugas merapikan gelas kosong dan mematikan lampu dapur serta ruang tengah.
Sayup-sayup, suara remaja berkeliling menabuh bambu dan kaleng sambil meneriakkan 'sahur' terdengar di kejauhan. Aku duduk di tepi ranjang, mengumpulkan nyawa. Setelah sepuluh menit hanya bengong, akhirnya aku menoleh ke samping, memastikan Rhea tidak terganggu oleh suara di luar. Syukurlah, dia masih terlelap.
Setelah mengecup pipinya yang tembam dan menarik selimut Mas Radit, aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan sahur. Di meja sudah ada beberapa lauk—sayur sop daging, perkedel sisa makan malam, ayam goreng, dan tentu saja, kerupuk. Mas Radit tidak bisa makan tanpa kerupuk.
Aku kembali ke kamar untuk membangunkannya. "Mas, sahur yuk." Aku menepuk pipinya pelan, tapi dia tidak bergerak.
"Mas, bangun dulu, keburu imsak nanti." Dia hanya bergumam, lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh kepalanya. Aku menghela napas, menarik selimutnya dan mencubit hidungnya. Membangunkan Mas Radit butuh kesabaran ekstra.
"Jam berapa?" tanyanya dengan suara serak.
"Setengah empat, ayo buruan." Saat dia beranjak ke kamar mandi, aku bersiap turun, tetapi baru saja hendak membuka pintu, tangisan kecil Rhea terdengar. Aku berbalik dan mendapati wajahnya yang masih mengantuk, benar-benar menggemaskan.
"Kok bangun, Rhea? Berisik, ya, di luar abang-abangnya pada teriak?" tanyaku, mencium pipinya. Aku mengambil kain gendongan, menggendongnya, lalu turun ke dapur.
Tak lama kemudian, Mas Radit muncul dengan rambut dan wajah basah, masih dengan ekspresi muka bantalnya yang khas.
"Papa cariin tahu, eh malah ikutan bangun, ya? Hey, mau ikutan sahur juga?" godanya sambil mengambil Rhea dari gendonganku.
Aku mulai menyiapkan nasi dan lauk. Sayang sekali, dua tahun ini aku tidak bisa berpuasa. Tahun lalu aku sedang hamil, dan tahun ini masih menyusui, jadi puasaku harus tertunda lagi.
"Sini, sama Mama dulu. Papa mau makan," ujarku saat Rhea mulai merengek kecil. Sepertinya dia lapar, jadi aku menyusuinya sambil makan sayur sop tanpa nasi. Kadang rasanya seperti terus-menerus lapar. Gimana mau langsing kalau begini terus? Huh.
Rhea perlahan-lahan kembali tertidur di pelukanku. Aku menatapnya dengan sayang. "Jam segini tuh bukan jamnya kamu bangun, Nak. Tidur aja, ya. Mama juga sebenarnya pengen tidur lagi."
--+++--
Hai,makasih guys yang udah berkenan mampir! it's an honor if you enjoy this story. Boleh vote dan feel free buat komen. Oh iya aku minta tolong tandain kalo ada typo yaa,makasih. Sampai ketemu di part selanjutnya c u💋