"Wih cepet amat lo datangnya." Seru Rara sahabat plus rekan kerjaku saat mendapatiku sedang duduk bengong di sofa bed On Call Room IGD Rumah Sakit tempat kami bekerja.
Waktu jaga malamku memang baru dimulai pukul 8, tapi aku memilih datang lebih cepat. Diam sendirian di kamar kost malah membuatku makin memikirkan perasaanku terhadap Arga yang rasanya semakin membuncah. Mungkin inilah karma dari segala ucapanku dulu yang seolah sangat menentang ide friend to lover. Kalau tahu pada akhirnya akan menjatuhkan hati pada Arga, kuladeni saja candaannya dulu yang ingin menjadikanku pacar. Persahabatan kami sudah berjalan selama lebih dari 10 tahun, semenjak satu kelas di tahun akhir SMP. Walaupun tetanggaan tapi lantas tidak membuat kami otomatis menjadi teman sejak kecil.
Entah kapan perasaanku mulai berkembang untuk Arga, yang jelas setelah wisuda aku mulai memandangnya dengan berbeda. Bukan lagi sebagai seorang sahabat. Dan sialnya saat hatiku mulai tertambat pada Arga, dia malah beberapa kali mengenalkanku dengan perempuan. Putus, ketemu baru lagi, jadian, jalan sebentar putus lagi. Sampai dia bertemu dengan Laura setahun yang lalu dan hubungannya bertahan sampai hari ini.
"Woy, malah melamun. Hmmm let me guess, it must be about Arga kan?" tebak Rara.
"You know me so well." Balasku sambil memasang cengiran.
"You're so pathetic. Harus berapa kali sih gue ngomong kalo masih banyak cowok baik dan ganteng di luar sana yang bakalan suka sama lo?"
Aku mengangkat bahu, "I don't know Ra, kadang gue juga suka merutuki diri sendiri. Entah kenapa gue nggak bisa memalingkan hati gue dari seorang Arga."
"You should tell him. Diterima atau ditolak seenggaknya perasaan lo bisa lega dan lo juga bisa cepetan move on kalo dia emang nggak ada perasaan sama sekali."
Yah berkali-kali aku mencoba untuk jujur soal perasaanku, tapi ketakutan akan seberapa canggung hubungan kami nanti selalu menahan langkahku.
"Yeee malah melamun lagi." Rara mengibaskan tangannya di depan wajahku.
"Udah ah jangan bahas Arga mulu, ntar gue makin galau. Cepetan siap-siap hand over, then we need to rest for a while karena feeling gue bakalan rame malam ini." ucapku yang langsung diiyakan Rara tanpa banyak protes.
***
Dan perkataanku tadi pada Rara terbukti saat tengah malam. Kami berdua yang belum lama beristirahat dibangunkan suster Ina. Ada tabrakan di dekat area salah satu klub malam.
"Lima pasien dok totalnya. Tiga orang yang mobilnya ditabrak dari belakang, dua orang kondisinya sadar sedangkan satu orang sepertinya keracunan alkohol." Jelas suster Ina sambil menyerahkan file di tangannya.
"Gue tanganin si penabrak." Kata Rara sebelum melangkah menghampiri dua pasien yang dia maksud.
Aku juga bergegas menghampiri pasien yang diduga keracunan alkohol.
"Keluarga pasien sudah dihubungi?" tanyaku pada suster Ina.
"Sementara dihubungi temannya dok, mas ini salah satu teman pasien." Suster Ina mengedikkan dagunya pada seorang pria -yang langsung menarik perhatian karena warna rambut light brown- yang berdiri di samping bed pasien.
"Siapa nama pasien?" tanyaku.
"Akmal dok." Aku mengangguk dan segera mengecek pasien bernama Akmal setelah sebelumnya meminta temannya menunggu di luar.
"Teman saya nggak apa-apa kan dok?" tanyanya sebelum beranjak.
"Tunggu sampai kami selesai melakukan tindakan medis pada teman anda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Taken
RomanceTita Aleisya Sanjaya si anti romantic tidak akan pernah mengira kalau dalam sepuluh tahun persahabatannya dengan Argantara Prasetya akan jatuh hati dengan sahabatnya. Terlalu pintar menyembunyikan perasaan, membuat Tita harus menelan pil pahit saat...