Part 11

405 96 14
                                    

Kata orang nih, semakin besar niat untuk hijrah menjadi pribadi yang lebih baik pasti ujian hidupnya juga makin besar untuk menguji sejauh mana ketahanan iman seseorang. Sama kayak niat move on nggak sih? Iya tahu berdosa banget aku harus menganalogikan niat move on dengan hijrah, tapi aku masih terganggu dengan aksi Arga yang tiba-tiba. Entah apa yang terlintas dipikiran Arga malam itu. Bukannya kita nggak pernah pelukan sebelumnya, tapi entah kenapa vibes malam itu terasa aneh saja. Aku bukannya mau ge-er tapi aku belum pernah melihat sisi Arga yang seperti itu, dan untuk pertama kalinya aku merasa kalau dia benar-benar takut kehilanganku. Kenapa bisa yakin? Karena aku merasakan tangannya yang bergetar saat aku melepaskan pelukannya. Dan Arga selalu seperti itu disaat dia merasa kalut akan kehilangan sesuatu.

Kelemahan terbesarku memang Arga. Malam itu saja aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghiraukan tindakan dan ucapannya malam itu dan memilih untuk menyuruh dia pulang dan istirahat. Tapi beberapa saat kemudian saat Arga sudah berlalu pergi, aku langsung menyesal. Setidaknya aku harus membalas pelukannya atau meyakinkan dia kalau dia nggak akan pernah kehilangan aku, iya kan? Udah benar lah aku menghindari Arga beberapa hari ini dengan selalu berdalih sibuk, karena lama-lama aku bisa nggak waras. Tadi udah kayak kaum Quraisy aja pemikiranku yang menganalogikan proses tobatnya manusia dengan move on.

"Dokter Tita, dipanggil prof Lidya di ruangannya." Lamunanku buyar saat suster Ivi memanggilku.

"Oh iya. Pasiennya udah selesai?" tanyaku.

"Iya dok." Aku mengangguk kemudian segera beranjak menuju lantai 2 dimana ruangan wakil direktur berada. Dan lagi-lagi aku bertemu dokter Jeff di depan lift. Sepertinya dia juga baru selesai dari klinik rawat jalan.

"Kenapa kita jadi sering ketemu depan lift yah?" sapanya dengan senyum lebar sambil pamerin dimple-nya yang lucu. Saking lucunya pengen kucolok kadang-kadang.

Iya yah? Jangan bilang jodohku sebenarnya pintu lift? Wake up Tita, bentar lagi stres beneran.

"Eh iya yah dok, saya juga baru sadar." Ucapku sambil tersenyum agak canggung.

"Mau kemana?"

"Dipanggil prof Lidya."

"Oh yah? Saya juga loh."

"Kira-kira kenapa yah dok?" tanyaku.

"Entahlah..." dokter Jeff mengangkat kedua bahunya santai. "Mau dicomblangin mungkin?" lanjutnya lagi sambil tersenyum penuh arti.

"Hah?" emang kerjaan Tita Sanjaya di depan dokter Jeff kalau bukan jadi keong, jadi budeg. Hah-hoh mulu bisanya.

"Becanda dokter Tita, nggak usah tegang begitu mukanya."

"Hehehe." Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Kirain dokter nggak tahu becanda." Ucapku lagi sambil masuk ke pintu lift yang terbuka.

"Memangnya kamu tertarik kalau benar-benar mau dicomblangin sama saya?"

Untung saja di lift cuma ada kami berdua, nggak kebayang dong aku jadi bahan gosip seisi rumah sakit kalau ada yang dengar ucapan dokter Jeff barusan.

"Iya dok, saya udah tahu dokter bisa becanda. Nggak perlu meyakinkan saya dengan candaan kayak tadi." Candaku berusaha mengenyahkan atmosfir canggung karena salting. Ya secinta apapun aku sama Arga kalau dikardusin manusia setengah dewa juga bisa meleyot ujung-ujungnya.

"Kayaknya kita dipanggil mau bahas soal seminar internasional di Jogja minggu depan." Kata dokter Jeff.

"Seminar orthopedic dan traumatology? Hubungannya sama saya apa?"

"Nanti aja tanya langsung." Kata dokter Jeff sambil mengedikkan dagunya ke arah ruangan professor Lidya dokter spesialis ortopedi senior sekaligus wakil direktur rumah sakit.

TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang