Part 05

396 90 1
                                    

Setelah satu bulan lebih tidak bertemu, malam ini Arga muncul dan menungguku di parkiran Rumah Sakit sambil menenteng Caramel Machiato favoritku dan ketoprak favoritku yang dia beli di abang-abang langganan kami berdua. Sebelumnya dia meneleponku untuk menanyakan posisiku dan kebetulan malam ini jadwal jaga di IGD. Kebetulan juga masih sepi jadi aku menyempatkan waktu untuk bertemu Arga. Karena jujur aku kangen banget sama cowok pemilik eyes smile terindah di dunia versi Tita Aleisya Sanjaya.

Arga langsung merentangkan tangannya memintaku masuk dalam pelukannya, tidak lupa senyum lebar yang membuat kedua matanya hilang. I really love his eyes smile. Karena aku juga kangen, tanpa ragu aku masuk dalam pelukannya. Sorry yah Laura, lagian trust me pelukan cowok kamu ke aku tuh cuma pelukan antar saudara.

"Kangen yah lo sama gue?" Suara Arga teredam diantara helai rambutku. Untung saja tadi aku keramas dulu sebelum jaga.

"Lo kali yang kangen sama gue." Elakku.

Arga terkekeh seraya melepas pelukannya. Dia lalu menarikku dan kami berdua duduk di atas kap mobil Pajero-nya. Kebiasaan kami berdua sejak dulu, duduk sambil mengamati langit yang nggak berbintang. Dan aku selalu menyukai situasi kami yang seperti ini, tak berjarak dan hanya ada kami berdua.

"Proyek lo gimana?" tanyaku memecah hening.

"Alhamdulillah lancar. Tuh minuman di tangan lo hasilnya."

"Cih kerja keras bagai kuda hasilnya cuma minuman yang nggak sampe gopek?" cibirku yang membuatnya tertawa.

"Itu baru tester aja Ta, satu dari sekian banyak hal yang bisa gue wujudkan dari hasil kerja keras gue. Naik gaji dan naik jabatan ada diantaranya."

"Serius lo?? Huaaa Arga congratulation. Gue turut bahagia kerja keras lo akhirnya membuahkan hasil." Aku kembali memeluknya dan Arga lagi-lagi tertawa.

"Eits tapi bukan itu alasan gue menemui lo. Ada satu kabar bahagia lagi," katanya dengan wajah sumringah setelah aku melepas pelukanku.

Binar bahagia di matanya terlalu kentara dan membuat perasaanku tidak enak. Aku terlalu mengenalnya untuk mengerti dan jadi mudah menebak apa yang ada dibalik binar bahagianya. Saat Arga mengeluarkan sesuatu dari kantong celana jeansnya, aku seperti kejatuhan bongkahan batu yang sangat besar. Arga mengeluarkan kotak cincin beledru berwarna biru yang aku yakini bukan untuk melamarku.

"Lo...mau...propose?" tanyaku pelan.

"Iya, salah satu alasan gue kerja keras karena gue mantap mau serius sama Laura." Arga memandangi kotak cincin di tangannya dengan senyum yang tidak pernah dia bagi pada siapapun termasuk aku.

"Lo yakin?" tanpa bisa dicegah pertanyaan itu meluncur keluar dari bibirku.

"Sangat yakin. She's the one Ta. Gue sempat ragu juga tapi jauh dari Laura sebulan terakhir benar-benar menyiksa gue. Dan gue jadi memantapkan hati untuk melamarnya."

Kalimat-kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Arga terdengar hanya seperti gumaman di telingaku. Aku tidak bisa lagi mendengarkan perkataannya karena yang ada dibenakku sekarang hanyalah rasa takut kehilangan Arga sebagai orang yang aku cinta juga sebagai sahabatku. Momen kebersamaan kami, dan juga saat-saat Arga yang selalu ada untukku sebentar lagi mungkin hanya akan menjadi kenangan, karena aku tidak yakin masih bisa menjalin persahabatan dengannya saat dia sudah menikah. Membayangkan saja sudah membuat hatiku perih dan tanpa bisa aku cegah, aku kembali memeluknya, kali ini lebih erat dibandingkan dua pelukan yang tadi.

"Hei, lo kenapa?" tanya Arga lembut sambil membelai rambutku.

'Jangan nikah Ga, nanti gue gimana? Gue juga cinta sama lo.'

Harusnya aku mengutarakan kalimat itu dengan lantang, tapi bibirku malah menghianati hatiku.

"Gue doain lamaran lo sukses, dan Laura menerima lo sebagai calon suami. Harus sih, bego dia kalo nolak lamaran lo." Ucapku sendu sebelum melepas pelukanku.

Arga mengacak rambutku. Senyum tidak pernah luntur dari wajahnya.

"Lo juga cepetan cari pacar, biar nggak kesepian pas gue nikah." Ucapnya yang membuatku mendengus kuat.

"Eh gue serius ini, udah waktunya cari pasangan. Tante pasti bentar lagi tubir sama lo, apalagi lo anak tunggal."

Aku hanya bisa menghela napas panjang mendengar perkataan Arga. Iya, aku pengen pacaran, pengen nikah juga, tapi sama kamu Arga.

"Lo sama Riza gimana? Kayaknya kalian lumayan dekat akhir-akhir ini."

Pertanyaan Arga barusan membuat aku teringat pada Riza. Sudah seminggu aku juga belum bertemu dengannya karena lagi ada urusan pekerjaan di luar kota. Aku juga jadi teringat candaan konyolnya waktu itu. Aku gelagapan saat tiba-tiba Riza bertanya ingin menjadi pacarnya atau tidak. Tapi sesaat kemudian tawanya pecah.

"Lo harus lihat ekspresi lo saat ini." katanya saat itu sambil terbahak. Aku ikut tertawa juga sambil menghembuskan napas lega.

"Ditanya malah melamun." Arga mengusapkan telapak tangannya di wajahku.

"Yah nggak gimana-gimana, we're just friend for now. Nggak tahu nanti." Jawabku.

Kami berdua lalu terdiam, larut dalam pikiran masing-masing sebelum Arga pamit untuk bertemu Laura.

"Wish me luck." Ucapnya sebelum masuk ke dalam mobil dan berlalu.

Aku masih tetap berdiri di halaman parkir dan memandangi mobil Arga sampai tidak terlihat lagi. Aku kembali ke IGD dengan lesu, membuat Rara jadi bertanya-tanya.

Dalam hati aku berharap Laura menolak lamaran Arga. Tapi chat yang masuk dua jam kemudian membuat kantukku hilang dan aku terjaga semalaman. Dadaku seakan terhimpit batu. Patah hati kali ini sangatlah parah. How can I live without you Arga?

Argaaa 119 :

She said yes

Wohooooooo I'm getting married

***


TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang