Part 08

383 86 2
                                    

Aku dan Laura berakhir di Starbucks setelah beberapa jam berkeliling memilih bahan kain dan aksesoris untuk keluarga Arga.

"Thanks yah Ta udah mau nemenin gue. Jujur aja gue masih belum paham selera keluarganya Arga, takut salah pilih." Kata Laura membuka pembicaraan.

Rekor sih ini, pertama kali Laura bicara denganku lebih dari tiga kata. Di perjalanan tadi saja kami lebih banyak diam karena canggung.

"It's okay. Gue juga cuma bisa bantuin segini." Ujarku canggung.

Kemudian hening. Laura sibuk dengan Americano-nya dan aku sibuk mendalami lagu Mahalini dan Luca yang mengalun di penjuru kafe.

"Sori Ta." Ucap Laura tiba-tiba. Membuat aku yang tengah menyeruput minumanku jadi nge-bug tiba-tiba. "Sori kalau mungkin selama kita kenal gue terkesan dingin sama lo."

Aku meletakkan kembali gelasku. Ucapan Laura barusan lebih menarik daripada caramel machiato favoritku.

"Gue nggak benci sama lo kok, sumpah. Mungkin lo nggak tau tapi gue emang nggak mudah akrab dengan orang. Dan mungkin gue juga sedikit iri sama lo." Laura menunduk memainkan sedotan di cup Americano miliknya.

"Iri? Sama gue?"

Laura mengangguk pelan. "Gue suka iri lihat persahabatan dan kedekatan lo sama Arga. Gue juga pengen dekat sama lo tapi kayak susah karena seolah-olah ada dinding tinggi yang mengelilingi lo. Gue pacar Arga tapi yang lebih mengenal Arga luar dan dalam itu lo. Even now, menjelang pernikahan gue masih canggung dengan keluarga Arga yang lainnya."

"Lo...dengan profesi lo saat ini, susah dekat sama orang?" tanyaku masih tidak percaya.

"Lihat nggak berapa orang sahabat gue yang mendampingi waktu gue tunangan? Gue menggeluti bidang ini karena passion gue tapi sebenarnya gue nggak semudah itu dekat dengan orang. Jadi lo jangan salah paham, gue nggak pernah nggak suka sama lo apalagi benci. Lo orang yang penting buat Arga, jadi lo juga penting buat gue." Laura tersenyum.

Dan tiba-tiba saja hatiku seketika luluh, atau lega?

"Gue juga minta maaf kalau gue sempat salah paham. Gue merasa kalau lo nggak suka ada gue di antara lo dan Arga, jadi yah tanpa sadar gue juga membangun dinding tinggi di sekitar gue."

"Why I have to hate you? Cemburu yah nggak gue pungkiri pasti ada kalau Arga perhatian ke lo udah berlebihan. Tapi itu hal yang wajar karena kalian bersahabat udah sangat lama. Sepuluh tahun kan?"

"Lebih sih sebenarnya, tapi hitungan gue sepuluh tahun. Karena gue merasa benar-benar jadi sahabatnya yah sepuluh tahun terakhir."

Kemudian kembali hening. Kalau aku perhatikan, antara aku dan Laura ada beberapa kemiripan. Salah satunya susah dekat dengan orang baru. Dan aku baru sadar kalau aku mungkin sudah salah menilai Laura selama ini. Laura anak orang kaya, cantik, bahkan profesinya saat ini juga mendukung, sekali lihat pasti akan berpikir kalau Laura pasti anak gaul dari jaman SMP yang punya banyak teman dan banyak penggemar. Selama ini aku mungkin terlalu sibuk mengasihani diri sendiri sampai tidak sadar kalau Laura ternyata ingin berteman denganku juga. Harusnya aku sadar kalau Laura tidak seburuk yang ada di pikiranku selama ini, karena dia adalah pilihan hati Arga. Dan Arga tidak pernah salah memilih.

"Jadi Ta...." Laura kembali membuka obrolan. "Mantan pacar Arga ada berapa?" tanyanya polos.

Aku kembali nge-bug sesaat sebelum pecah dalam tawa.

"Oh jadi lo deketin gue sekarang cuma buat cari tahu berapa mantan Arga?" ledekku. Laura ikut tertawa sambil mengibaskan tangannya.

"Nggak gitu. Penasaran aja."

TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang