Part 14

431 89 5
                                    

Aku menatap Laura dengan tidak percaya setelah mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya. Kami berdua sedang berada di salah satu kafe dekat Rumah Sakit. Saat dia meminta bertemu, aku langsung mengiyakan karena aku penasaran dengan apa yang terjadi saat ini diantara dia dan Arga.

"Lo serius? Kalian sudah sejauh ini Laura, gue bukannya mau belain Arga karena dia sahabat gue, tapi gue pun kalo ada di posisinya bakalan marah dan kecewa." Ucapku dengan nada kecewa.

"Gue tahu Ta, gue juga bingung. Tapi ini impian gue sejak dulu, gue apply di posisi itu, lama menunggu dan akhirnya gue diterima. Rachel Zoey is my role model dan gue dapat kesempatan untuk kerja bareng beliau."

Aku terdiam, karena di satu sisi aku mengerti perasaan Laura. Laura mendapat email kalau dia diterima bekerja dengan Rachel Zoey -fashion stylist terkenal di dunia- selama satu tahun, dan mulai bekerja di bulan yang sama dengan rencana pernikahannya dengan Arga, dan itu dua bulan lagi.

"Gue cuma mau Arga nunggu satu tahun." Gumam Laura.

"Nggak mudah Lau, persiapan kalian sudah sejauh ini, ini bukan hanya soal lo sama Arga aja tapi dua keluarga besar. Kalian kan bisa nikah aja dulu, baru lo berangkat."

Laura mengusap wajahnya dengan gusar. "Gue bingung Ta...gue harus apa? Nggak mungkin kan habis nikah gue ninggalin suami gue? Dan lo tau, Arga cuma ngasih gue dua pilihan, nikah sama dia atau kejar karir gue."

Makin stres aku mendengar ucapan Laura barusan.

"Ta bantuin gue ngomong sama Arga." Pinta Laura frustasi.

"Okey, gue akan coba ngomong, tapi gue juga nggak bisa janji kalo dia mau nurut sama gue. Tapi Lau, lo juga pikiran baik-baik yah? Pikirin prioritas lo sebenarnya apa, dan kalo memang lo harus mengorbankan sesuatu, seenggaknya pilihan lo harus layak."

***

Mata Arga membulat saat membuka pintu apartemen dan menemukanku di depan pintu.

"Pizza and cola?" ucapku sambil mengangkat pizza dan cola di tanganku. Senyum Arga terkembang.

"Tumben pencet bel, biasa juga langsung masuk." Ucapnya sambil menggeser badannya agar aku bisa masuk.

"Itu kan kalo lo nggak ada kabar."

Aku meletakkan pizza dan kaleng cola di atas meja di ruang tamu lalu menuju dapur untuk mencuci tangan.

"Nggak jaga lo?" tanya Arga saat aku kembali dan duduk di sampingnya.

"Tadi pagi." Aku mengambil potongan pizza dan menyuapkan ke mulutku diikuti Arga.

Hening karena kami sama-sama sibuk mengisi perut dengan potongan pizza dan juga aku yang masih berpikir bagaimana menanyakan masalah dia dan Laura tanpa menimbulkan masalah baru.

"So, lo masih belum mau cerita?" tanyaku akhirnya saat pizza di depan kami sudah tandas.

Arga menoleh menatapku sekilas sebelum menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan menarik napas panjang.

"Gue tadi ketemu Laura, jadi yah sebagian masalah kalian gue udah tau. Tapi gue mau dengar dari lo juga."

Aku menyerong dudukku agar bisa menatap wajah Arga.

"Ga...." Panggilku lagi saat dia belum merespon pertanyaanku.

"Gue marah Ta, gue marah gue bukan jadi prioritas dalam hidup dia. Kalo memang masih mau mengejar karir kenapa terima lamaran gue? Kenapa setuju dengan tanggal pernikahan, kenapa nggak nunggu kabar dari si Rachel-Rachel itu dulu sebelum menentukan tanggal pernikahan. Tinggal dua bulan, persiapan sudah sejauh ini dan dia mau diundur, nunggu dia selama satu tahun? Apa gue nggak berhak marah?"

TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang