Part 04

390 93 3
                                    

Sudah satu bulan aku tidak bertemu dengan Arga, tepatnya setelah perusahaan tempat dia bekerja memenangkan proyek dengan Dewangga Grup. Aku hanya intens berkomunikasi lewat chat, telepon dan kadang-kadang video call saat Arga sedang jenuh dengan kerjaan. Kangen? Pastinya, selain rasa cinta aku ke dia, aku juga terbiasa direcokin oleh Arga sejak bangku SMA. Terpisah jurusan saat kuliah pun tidak membuat aku terbebas dari kerempongan Arga. Awalnya aku sering misuh-misuh setiap Arga menerobos masuk ke kamarku dan merengek minta ditemani. Bahkan teman-teman SMA kami sering bilang kalau kami seperti bertukar kepribadian, karena yang sering merengek manja justru Arga.

"Melamun lagi, kesambet baru tau rasa." Aku menoleh ke asal suara dan langsung memasang cengiran lebar saat mendapati picingan kesal dari Riza.

Tidak terasa juga sudah satu bulan aku mengenal dan berteman baik dengan Riza. Aku memang bukan tipe social butterfly seperti Arga yang punya banyak teman dan kenalan. Bahkan para tukang jualan di kompleks sekolah dulu semua dia kenal. Saat SMA aku hanya banyak berinteraksi dengan anak-anak OSIS itupun urusan organisasi. Paling hanya Aleta yang suka kemana-mana bareng, tapi kebanyakan di lingkungan sekolah. Aku anak yang mageran jadi nongkrong itu adalah hal yang langka, itupun kebanyakan hanya sama Arga atau Aleta. Begitupun di bangku kuliah, aku hanya dekat dengan Rara sampai sekarang. Syukurnya kami berdua juga bekerja di Rumah Sakit yang sama dan bertemu Yayan yang satu frekuensi.

"Gue nggak melamun, cuma lagi mikir aja." kelitku.

Kami berdua sedang nongkrong di teras kost-ku dengan dua cup Caramel Machiato ukuran grande yang dibawa Riza.

"Mikirin apa?" tanya Riza.

"Mikir kalo lo sebenarnya beneran kerja atau nggak? Siang-siang udah nongol aja di sini."

Riza tertawa pelan mendengar ucapanku. Sial, baru sadar aku kalau tawa Riza dengan deep voice-nya cukup bahaya juga.

"Privillege senior begini mah, lagian waktu kerja gue juga fleksibel." Katanya membela diri. "Eh tapi gue maklum juga sih kalo lo sering melamun. Orang yang lagi jatuh cinta kan emang sering melamun. Apalagi yang one sided love." Lanjutnya lagi yang diikuti tawa yang lebih keras.

"Sialan." Umpatku tapi nggak urung membuatku ikut tertawa juga bersamanya.

Sejak dia tahu kalau aku mencintai Arga hanya dari caraku menatapnya, tidak ada lagi yang aku sembunyikan darinya. Sempat membuat Rara dan Yayan heran karena aku dengan mudahnya bisa terbuka pada Riza, orang yang literally baru aku kenal.

Nggak bosan-bosan aku bilang, walaupun baru kenal tapi aku nyaman mengobrol bahkan curhat pada Riza. Karena dia sangat tahu bagaimana menanggapi aku dan tidak pernah menghakimi. Setiap tutur ceritaku disimak dengan baik dan diakhir curhatan dia tidak berkomentar apapun. Yang dia lakukan hanyalah meremat lembut pundakku seolah menyalurkan semangatnya. Dengan cara itulah Riza menunjukkan perhatian dan dukungannya kepadaku.

"Lo pernah jatuh cinta nggak Za?" tanyaku penasaran.

Dia sudah mendengar banyak dariku, tapi aku belum pernah mendengar kisah cintanya.

"Jatuh cinta atau pacaran?" Riza balik bertanya dengan mata yang langsung terarah ke mataku.

"Yah dua-duanya, jatuh cinta pasti pacaran juga kan?" kataku sedikit gugup karena sorot mata Riza ternyata seteduh itu.

"Nggak juga ah. Buktinya lo jatuh cinta tapi nggak bisa pacaran kan?" ledeknya lagi. Emang dasar tengil banget ini manusia satu, untung cakep.

"Ih bawel ih, jawab aja kenapa siiiiih?" aku mencubit gemas lengannya yang membuat dia kembali tertawa.

"Dua-duanya gue pernah, tapi selalu sial. Kalau bukan dapat yang beda server, yah diputusin atau diselingkuhin." Jawabnya santai seolah sudah terbiasa dengan luka yang didapat setelah jatuh cinta.

Aku melongo, bisa-bisanya modelan begini diselingkuhin?

"Kok bisa diselingkuhin?"

"Menurut mereka gue orangnya cuek dan nggak romantis tapi menurut sahabat-sahabat gue mereka aja yang nggak peka. Love language gue emang bukan words of affirmation. I prefer action than talk. Daripada repot-repot ngirim chat nanyain udah makan atau belum, gue lebih milih samperin langsung, ngajak makan bareng. Sleepcall tiap malam juga ngapain menurut gue kecuali emang lagi LDR. Selama bisa ketemuan, mending ketemuan langsung."

"Quality time sama act of service." Tanpa sadar aku menyeletuk disela cerita Riza.

"Hah?"

"Love language lo itu berarti. Quality time sama act of service."

Lagi-lagi Riza terkekeh.

"Tapi gue tetap aja kalah sama yang suka menebar keromantisan lewat kata-kata dan sebuket bunga." Kali ini sorot terluka terpancar di matanya.

"Sori Za gue udah buka luka lama." ucapku pelan.

"It's okay." Ucapnya sambil tersenyum dan mengacak pelan rambutku. "Lo sendiri tipe cewek yang kayak gitu nggak? Yang langsung baper sama kalimat bullshit dan sebuket bunga?"

Aku mengernyit geli.

"Lo nggak tau aja waktu sekolah dulu gue julukannya si paling anti romantic. Gue suka geli kalo ada yang uwu-uwuan di depan gue. Pernah nih udah lapar banget gue, lagi ngantri di kantin tiba-tiba ada teman angkatan gue yang nembak gebetannya di kantin. Langsung balik kanan gue."

Riza tertawa keras, padahal menurutku nggak ada yang lucu. Tapi aku lega karena sorot sedih di matanya sudah berganti dengan binar ceria.

"Nah berarti kalo lo jadi pacar gue, gue nggak perlu khawatir diselingkuhin dong." Candanya.

"Bisa jadi." Sahutku.

"Nah, dokter Tita Aleisya Sanjaya, would you be my girlfriend?" tembak Riza tiba-tiba.

Tapi kali ini nggak ada seringai jahil di wajahnya dan bahkan nada bicaranya jauh dari kesan bercanda.

Crap!

TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang