Part 12

393 89 2
                                    

Janji dibuat untuk diingkar adalah omong kosong terbesar yang pernah kudengar. Itu hanyalah alasan mengada-ada dari orang yang tidak bisa berkomitmen. Tapi justru akhir-akhir ini aku menjadi salah satu dari ratusan orang yang sering melanggar janji. Aku berjanji untuk nggak overwork tapi justru aku disini habis mimisan karena terlalu memforsir diri untuk bekerja.

Waktu tidurku seminggu terakhir ini benar-benar kurang, hanya bisa tidur paling lama 4 jam. Selain harus bertugas jaga di IGD atau di klinik rawat jalan, aku juga sering lembur untuk mempersiapkan dokumen akreditasi. Salahkan Tita Sanjaya yang memilih untuk terus sekolah saat patah hati. Disaat koas dulu, aku juga sembari mengejar gelar magister, makanya aku bukan hanya menjadi tenaga medis di Rumah Sakit ini tapi masuk juga di Komite Medik dan tim akreditasi Rumah Sakit. Bicara soal overwork atau overstudy sudah dari dulu aku melakukannya, tapi baru kali ini tubuhku mulai protes. Dua hari terakhir aku merasa sangat kelelahan, apalagi semalam ada pasien code blue yang gagal jantung saat aku jaga malam.

Dan semalam lagi-lagi aku mengamuk pada Arga yang tiba-tiba datang ke rumah sakit. Alasannya apalagi kalau bukan karena aku tidak membalas chat dan mengangkat teleponnya.

"Damn it Arga lo harus benar-benar berhenti bertingkah seolah rumah sakit ini punya lo!" bentakku kasar karena dia yang tiba-tiba muncul dan menyeretku untuk ikut dengannya.

"Semua orang pada ngira lo cowok gue dan super posesif! Kenapa sih lo nggak urusin aja pernikahan lo sama calon istri lo ketimbang gangguin gue?"

Arga hanya diam dan menatapku dengan sorot mata kecewa. "Kapan terakhir lo istirahat?" tanyanya pelan.

"Lo kenapa Ta? Ada masalah? Atau gue ada salah sama lo?" tanya dia lagi dengan lembut yang membuatku sedikit melunak. Aku menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan.

"Sorry. Gue cuma lagi capek aja. Lo ngapain kesini?"

"Mama ngirimin sambal hati, buat lo juga ada. Gue bawain biar lo bisa makan. Makan dikit yah sebelum lo lanjut jaga lagi?" bujuknya yang membuatku diserang rasa bersalah. Baru saja mau niat makan ditemani Arga, tiba-tiba saja ada code blue yang membuatku terpaksa berlari meninggalkan Arga tanpa sempat meminta maaf dengan benar karena sudah bersikap kasar.

"Stop it and get rest. Don't push yourself too hard." Ucap Jeff tegas seraya menyodorkan tisu padaku, membuyarkan lamunanku tentang kejadian semalam. Ekspresi mukanya terlihat cemas bercampur marah. "Kapan terakhir kamu tidur?" tanyanya lagi.

"I'm okay." Ucapku pelan.

"I said stop it." Tegasnya lagi dengan nada suara mulai meninggi. "Biar saya yang lanjutkan, kamu istirahat sebentar."

"Tapi dok?"

"Bisa dengerin saya nggak? Kamu seorang dokter Tita, harusnya kamu mulai sadar saat tubuh kamu mulai protes. Kalau kamu tidak enak untuk pulang disaat yang lain sibuk, then take your time to rest for a while. Ke on call room IGD sana, tidur sebentar." Titahnya lagi masih dengan nada tegas yang membuatku menyerah.

Aku sedang berjalan dengan lemas di koridor rumah sakit saat berpapasan dengan Rara.

"Lo bener-bener deh Ta! Cari mati lo? Ikut gue sekarang!"

Rara menarik lenganku dan mencengkeramnya kuat sebelum mulai menyeretku sepanjang koridor, membawaku di salah satu ranjang kosong di IGD dan memaksaku berbaring. Dia lalu mulai memeriksa tekanan darah dan saturasiku.

"Lo gila Ta! Lo nggak sadar tekanan darah lo tinggal 90? Patah hati sih iya tapi nggak harus bunuh diri perlahan kayak gini." bentaknya.

"Apaan sih lebay amat lo. Gue nggak apa-apa, cuma butuh tidur bentar." Protesku.

TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang