Part 03

434 95 0
                                    


Tiga kata yang bisa kudeskripsikan untuk sosok Riza Endaru Alamsyach. Charming, sweet and fun. Selain itu Riza juga merupakan teman mengobrol yang menyenangkan, percaya diri dan penuh optimisme. Semua kesan itu langsung bisa aku simpulkan di makan siang pertama kami. Yah, aku menyetujui tawaran makan siang yang diajukannya minggu lalu. Tadinya aku masih ragu, tapi Rara dan juga Yayan yang mengetahui tawaran Riza dari cerita Rara terus mendesakku agar mencoba menerima tawaran Riza. Kata mereka supaya aku nggak stuck melulu di dunia aku dan Arga. Dan kupikir juga tidak ada salahnya. Aku menghubungi Riza malam harinya setelah dia menawarkan untuk makan siang bareng, berbekal kartu nama yang dia tinggalkan.

Keesokan harinya dia menjemput gue di kost karena kebetulan aku free jaga. Riza seorang digital marketing di salah satu perusahaan startup bidang marketplace yang sudah berlevel decacorn. Aku sempat melongo saat dia menyebutkan profesinya karena perusahaan tempat dia bekerja juga jadi salah satu marketplace favorit saya untuk belanja online.

Dan pilihanku menerima tawaran dari Riza tidak salah. Seperti yang kubilang tadi, Riza orang yang menyenangkan menyerempet tengil. Di perkenalan pertama kami, aku yang introvert ini bisa dengan mudahnya masuk dalam obrolannya. Aku suka orang yang berwawasan luas dalam banyak hal, dan Riza termasuk berwawasan luas. Semua topik yang aku angkat pasti bisa dia tanggapi. Dalam seminggu ini aku sudah dua kali makan siang bersamanya. Pertama hanya kami berdua, dan kemarin lusa bersama Akmal dan Rendy. Yang membuatku terkejut karena ternyata Akmal semenyenangkan itu, benar-benar tipe social butterfly, tapi saat patah hati bisa 180 derajat menjadi lelaki yang menyedihkan.

"Cabut benangnya nggak sakit kan?" tanya Riza gugup. Hari ini dia menjadi pasien rawat jalan terakhir yang kuperiksa di klinik umum.

"Kalau luka lo sudah mengering sempurna nggak bakalan sakit kok."

Setelah dua kali makan siang bareng, kami tidak lagi berbicara dengan bahasa yang formal.

"Are you afraid?" aku menahan geli melihat ekspresi tegang di wajahnya.

"Honestly, this is my first experience with surgical things." Aku terkekeh mendengarnya.

"Tapi kok waktu dijahit nggak ada takut-takutnya?" tanyaku sambil melepas perban yang baru kuganti empat hari lalu dengan perlahan.

"Bedalah, gue malam itu terlalu khawatir dengan keadaan Akmal. Dan terlalu terpesona dengan ketrampilan dokter bertubuh mungil tapi lincah." Candanya yang membuatku mendengus pelan.

"Gue termasuk tinggi yah untuk ukuran cewek." Protesku yang membuatnya terkekeh. "Hmm lukanya udah kering nih, seharusnya nggak ada masalah." Aku memijit pelan di area sekitar jahitan dan terus mengajaknya mengobrol sampai Riza tidak sadar kalau benang yang menahan jahitannya sudah terlepas sempurna.

"Done." Seruku puas.

"Apanya yang done?" Riza mengernyit heran.

"Benangnya udah gue cabut." Kataku santai sambil melepas handscoen dan membereskan peralatan medis yang kugunakan.

"Hah? Kok gue nggak ngerasain apa-apa?" tanya Riza dengan nada kaget sekaligus lega.

"Because I did it very well." Ucapku sambil menepuk bangga dadaku.

"Narsis." Cibirnya tapi tak urung ikut tersenyum.

Perban di dahinya sudah berganti dengan plester yang langsung tertutupi sempurna dengan poninya. Riza memiliki style coma hair yang sangat sesuai dengan wajah manisnya.

"Eh gue baru sadar. Lo ganti warna rambut yah?" aku memperhatikan rambutnya yang sudah berganti warna menjadi dark brown.

"Iya, nggak enak gue nyuri perhatian orang mulu." Ucapnya sambil memasang cengiran lebar yang membuatku berdecih karena kepedean tingkat dewa yang dia miliki.

TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang