Part 18

401 82 3
                                    

(Arga's POV)

Semenjak jatuh hati pada Tita, gue selalu menghitung hari kapan perasaan gue akan terbalas. Saat itu gue berpikir kalau gue akan menjadi lelaki paling bahagia saat akhirnya perasaan gue terbalas, dan gue siap memberikan seluruh dunia gue untuk Tita. Tapi gue nggak pernah menyangka kalau saat itu tiba gue justru merasakan patah hati yang amat sangat.

Mengingat kejadian kurang menyenangkan yang didengar dan dilihat Tita saat perdebatan gue dan Laura, gue memutuskan untuk menemui Tita dan meluruskan semuanya. Saat tiba di Rumah Sakit untuk menjemput Tita, nggak sengaja gue lihat dia dan Laura lagi jalan beriringan. Dengan spontan gue langsung mengikuti kemana mereka berdua pergi, tanpa mereka sadari. Membuat gue jadi tahu satu kebenaran kalau Tita juga menaruh hati pada gue. Kalau dia juga akhirnya jatuh cinta sama gue. Perasaan gue langsung nggak karu-karuan, rasa-rasanya ingin menghampiri Tita saat itu juga dan memastikan kalau gue nggak salah dengar. Tapi gue memilih untuk bersabar sampai urusan Laura dan Tita selesai sebelum akhirnya menghampiri mereka berdua.

Dan disinilah gue dan Tita berada sekarang. Di salah satu sudut Ancol, duduk di atas kap mobil gue sambil memandangi hamparan laut di depan sana. Jujur gue nggak berekspektasi akan datangnya momen seperti ini. Setelah meminta ijin pada Laura untuk bicara empat mata dengan Tita, gue menarik tangan Tita untuk ikut dengan gue. Awalnya tanpa tujuan karena gue yang mendadak gugup, ditambah Tita yang juga hanya diam sepanjang perjalanan, sebelum akhirnya gue memutuskan kesini. Mungkin dengan mendengar suara ombak hati gue bisa sedikit tenang.

"Ini mau diem-dieman sampe kapan?"

Setelah bermenit-menit semenjak tiba di tempat ini kami habiskan dalam diam, Tita akhirnya membuka suara. Dengan ekor mata gue bisa menangkap pergerakannya yang kini duduk menyerong agar bisa menatap gue sepenuhnya.

"Diem sampe matahari tenggelam nggak akan bikin kepala lo yang penuh dengan berbagai macam tanya akan terjawab begitu aja. Gue juga butuh penjelasan kenapa tiba-tiba diseret pergi gitu aja dari hadapan tunangan lo."

Bukannya menanggapi ucapan Tita, gue malah semakin menundukkan kepala gue dan memainkan jari-jari gue dengan gusar. Dilanda kegugupan membuat gue jadi bingung harus memulai kata darimana.

"Argantara, look at me. Lo kenapa?"

Gue masih bergeming sampai Tita menangkup wajah gue dengan kedua tangan mungilnya dan menghadapkan wajah gue ke arahnya. Mata gue bertabrakan dengan mata indahnya. Rasa-rasanya gue ingin mengutuk semesta yang sudah mempermainkan takdir gue dan Tita. Gue yang sempat dengan jumawa merasa kalau nggak ada laki-laki yang pantas bersanding dengan Tita selain gue justru malah jadi laki-laki tolol yang tidak sadar dengan perasaan Tita. Gue yang selalu ngomong kalau Tita nggak pekaan jadi orang, justru gue yang juga nggak peka saat dia ternyata juga perlahan mulai jatuh hati ke gue.

Dan dengan tidak tahu diri dan nggak berperasaan gue malah pamer gebetan sana-sini. Gue curhat tentang Laura ke dia, dan gue melibatkan dia dalam acara pertunangan gue. Ya Tuhan Arga, goblok banget jadi orang. Jahat banget nggak sih gue saat memperkenalkan Laura ke dia dulu? Kenapa bukannya confess gue malah memutuskan untuk move on ke Laura? Bodoh. Penyesalan memang datangnya selalu belakangan.

"Sorry..." gue bergumam pelan sambil memejamkan mata.

Sumpah demi Tuhan gue nggak sanggup menatap Tita saat ini.

"Lo ada buat salah ke gue?" tanya Tita sambil melepas tangkupan tangannya dari wajah gue.

"Gue...denger obrolan lo dan Laura." Ucap gue pelan.

Tita sedikit terkesiap sebelum kembali mengontrol ekspresinya. Dia menghela napas keras sebelum membuangnya perlahan.

"Alhamdulillah tanpa gue confess lo udah tau." Tita terkekeh pelan membuat gue spontan mengernyit bingung.

TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang