Mataku terus memaku Laura yang sejak 15 menit kami berdua duduk di kafe pilihannya masih belum mengeluarkan sepatah katapun. Hanya duduk resah dengan tangan yang terus-menerus saling meremat. Bahkan minuman yang dipesan belum tersentuh sama sekali.
"Udah ngomong aja nggak usah diremes terus itu tangannya." Aku membuka suara dengan nada sesantai mungkin untuk mengurangi kecanggungan.
Aku paham yang membuat Laura resah pasti karena dia memikirkan kejadian sore itu dimana aku tanpa sengaja mendengar perdebatan dia dan Arga.
"Gue minta maaf Ta, untuk yang sudah lo dengar waktu itu." Ucapnya sambil menundukkan kepalanya.
"Angkat kepala lo Ra, jangan nunduk gitu. Lo nggak salah, tapi gue juga penasaran. Apa semua yang gue dengar sore itu bener?" tanyaku sambil menatap Laura lurus-lurus.
Laura terdiam sesaat sebelum perlahan mengangguk.
"Arga pernah cerita nggak gimana ceritanya sampai kami bisa pacaran?"
Aku menggeleng ragu. Mungkin pernah tapi karena aku malas menyimak ceritanya Arga jadi aku nggak terlalu mengingat detail ceritanya.
"Kita pertama ketemu di acara lelang, dimana Arga mendampingi para petinggi di perusahaannya. Dan jujur gue jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajah tampan dan sikap gentle-nya benar-benar mencuri perhatian gue malam itu. Gue yang introvert untuk pertama kalinya berani mendekati cowok secara terang-terangan." Laura memberi jeda pada ceritanya dengan menyesap minuman yang dipesannya.
"Arga udah ngasih warning padahal, kalo dia sedang jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri tapi sepertinya bertepuk sebelah tangan. Tapi gue tetap berusaha mendekati Arga, bahkan gue yang nembak dia dan rela menjadikan diri gue sebagai pelampiasan."
Aku nggak tahu lagi bagaimana ekspresi yang tercetak di wajahku saat ini. Sampai dengan tahun kemarin Arga masih menaruh hati padaku?
"Gue benar-benar bahagia banget Ta waktu dilamar. Gue sampai nangis terharu karena pada akhirnya Arga berhasil membuktikan kalau dia benar-benar sudah mencintai gue. Tapi akhir-akhir ini gue ragu Ta, apa Arga udah benar-benar lupain perasaannya buat lo? Apalagi gue bisa rasain bagaimana nggak nyamannya dia saat tau lo sedang dekat dengan cowok."
"Kenapa lo ragu?" tanyaku.
"Arga adalah salah satu orang yang selalu men-support setiap pilihan gue apalagi yang berkaitan dengan profesi gue. Bahkan dia juga yang pernah menyarankan untuk mencoba tantangan baru di dunia kerjaan gue. Sampai gue berani apply tawaran proyek Rachel Zoey. Tapi dia tiba-tiba jadi yang paling menentang. Gue mengira awalnya karena memang dia yang nggak mau gue kerja jauh. Tapi saat menyadari sorot matanya setiap melihat interaksi lo dengan Riza, gue jadi menebak kalau dia belum sepenuhnya move on dari perasaannya."
Aku menghela napas panjang sebelum membuangnya dengan sedikit rasa greget.
"Terus maksud lo mau nemuin gue apa? Dengan lo cerita, lo mengharapkan apa dari gue?"
Lagi Laura menunduk dalam sebelum kembali menatapku dengan ragu.
"Gue nggak yakin pernikahan gue sama Arga bisa terjadi. Lo denger sendiri kan betapa keras kepalanya Arga saat itu."
Dengusan kesal spontan keluar dari mulutku. Bisa-bisanya ini dua manusia begitu menggampangkan rencana pernikahan yang sakral.
"Dengerin gue Ra, karena gue cuma mau ngomong ini sekali." Aku mengatur napasku terlebih dahulu karena pada akhirnya perasaan yang aku sembunyikan dan berencana akan dikubur harus aku ungkapkan hari ini.
"Gue juga cinta sama Arga..." ucapku berusaha tenang.
Laura terlihat sedikit terkejut sebelum dia menampilkan ekspresi yang tenang seolah dia sudah tahu akan hal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taken
RomanceTita Aleisya Sanjaya si anti romantic tidak akan pernah mengira kalau dalam sepuluh tahun persahabatannya dengan Argantara Prasetya akan jatuh hati dengan sahabatnya. Terlalu pintar menyembunyikan perasaan, membuat Tita harus menelan pil pahit saat...