Bagian 08

3K 162 9
                                    

Aislinn sedang bersandar ditiang depan kelas 12 IPA 2 yang berhadapan langsung dengan lapangan sambil memerhatikan beberapa anak yang sedang bermain basket. Waktu istirahat masih sangat banyak.

Gadis itu terperanjat saat merasakan dingin dipipi kirinya. Dia menoleh. Terdapat Biru yang memandangnya dengan ukiran senyuman yang masih terlihat canggung, ditangan cowok itu terdapat dua buah es krim.

"Biru?" beo Aislinn.

"Mau es krim?" tawar Biru, menyodorkan satu es krimnya pada Aislinn. Setelah kejadian kemarin, Biru sadar Aislinn menghindar darinya. Maka dari itu Biru hendak meminta maaf lebih dalam.

"Ambil! Gue tahu lo suka!" Biru memaksa Aislinn untuk menerimanya. Namun, Aislinn tetap diam. "Ambil, Linn."

Aislinn mengambilnya. Namun, alih-alih segera memakannya, Aislinn membiarkan es krim itu, tidak peduli panasnya hari ini akan membuat es krim itu akan lebih cepat mencair.

"Linn," panggil Biru memecah keheningan saat keduanya tadi sama-sama diam.

"Ya?"

"Sorry ya buat yang kemarin," ucap Biru, sungguh-sungguh dari hati yang paling dalam.

"Sorry? Sorry kenapa?"

"Yang gue ngebentak lo. Maaf, gue bener-bener gak bermaksud buat ngelakuin itu."

"Itu emang kesalahan gue, Ru. Lo gak perlu minta maaf." Aislinn sadar, jika dia saat itu diam dan tidak banyak tingkah, pasti Biru juga tidak akan membentaknya. Sahabatnya itu tidaklah bersalah. Suasana hati yang sedang tidak baik lebih mudah membuat seseorang emosi.

"Enggak, Linn. Itu sal—"

"Udah, ah. Masih pagi maaf-maafan mulu. Lo kayak baru kenal gue satu dua hari deh, Ru!" Aislinn menginterupsi. Dia tidak nyaman Biru sampai segininya.

"Jadi lo maafin gue?" Biru menatap Aislinn.

"Apanya yang dimaafin? Lo punya salah juga."

"Jadi kita baikan?" tanya Biru lagi, terus menerus memastikan.

"Emangnya kita musuhan?"

***

"YA ALLAH, SERENA! LO NGAPAIN MALEM-MALEM BEGINI BELUM TIDURRR?!"

Suara menggelegar Dario membuat Serena yang sedang sibuk dengan buku-bukunya di ruang tamu langsung berdecak. Fokus belajarnya jadi hancur berantakan. "Jangan berisik, Kak," pinta Serena.

"Ngapain begadang? Cepet tidur sana!"

"Bentar, tanggung sedikit lagi."

"Kan bisa dikerjain nanti? Belakangan ini lo keseringan begadang, gak boleh. Sana tidur cepetan."

"Iya, telor dadar! Sebentaaaarrrr!"

Dario mulai kesal. "Nurut bisa gak, sih, Serena Abrianna Mahadri? Susah banget jadi anak dibilanginnya."

"Gue tuh gak mau lo sakit," sambung cowok itu lagi.

"Iya, Kak. Iya."

"Udah, besok aja belajarnya."

"Orang belajar kok digituin?"

"Belajar boleh, tapi yang wajar-wajar aja. Ngejar masuk PTN? Lah, Ser, kesehatan lo itu jauh lebih penting."

"Gak masuk PTN bisa masuk swasta, duit Papa banyak. Susah-susah amat," ucap Dario enteng. Dia adalah mahasiswa kampus swasta elite dan ternama. Dario masuk swasta bukan karena tidak diterima dinegeri, tetapi karena dia memang ingin masuk swasta sejak awal. Berkuliah dikampusnya memang memakan biaya yang banyak, tetapi kembali pada apa yang ia ucapkan barusan, uang Papanya banyak. Terlebih Papa hanya memiliki dua orang anak, ia dan Serena saja. Sudah sepatutnya sebagai anak yang baik, Dario membantu sang Papa untuk menggunakan uangnya untuk hal-hal yang positif, pendidikan contohnya.

AISLINNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang