Bagian 29

1.3K 108 33
                                    

Serena mengembuskan napas kasar. Bosan sekali rasanya di rumah sakit. Apalagi sejak kemarin, Dario tidak berhenti merepet, kakaknya itu marah karena tidak diberitahu kalau dirinya masuk rumah sakit. Padahal, kan, Serena hanya tidak ingin mengganggu Dario dan membuatnya khawatir. Ditambah, Dario mengadu pada Papa dan Ibu, sehingga mereka juga memarahi Serena. Sekarang, Papa dan Ibu sedang dalam perjalanan kembali ke Jakarta.

"Woy, Serentul! Cepetan makan, biar cepet sembuh. Apa gue aja nih yang makan makanan lo?" ucap Dario, menyodorkan makanan dari rumah sakit yang baru saja diantarkan beberapa saat lalu.

"Makan aja, Kak. Gue gak selera." Serena membalas.

"Bejrit, enak gini penampilannya lo gak selera? Makanan rumah sakit tuh enak asal lo tau aja!" Empat bulan lalu, saat Dario sakit dan harus dirawat, jam makan adalah hal yang paling ia tunggu-tunggu dan ia selalu melahap habis semua makanan yang disajikan. Saking enaknya, terkadang Dario kangen.

"Yaudah, kalau enak, makan aja sama lo Kak kata gue juga." Serena mengulangi perkataannya. Mau makanan itu dihabiskan juga Serena tidak masalah.

"Gak mau, ah. Masa gue yang makan," tolak Dario mentah-mentah. "Yaaa walaupun pengen sih. Cobain dikit boleh ya?" Dario melanjutkan ucapannya hanya selang beberapa detik kemudian, ia tersenyum lebar dengan alis yang naik turun.

Serena memutar bola matanya malas. Banyak sekali ini lakik satu basa-basinya.

Serena memutuskan untuk mengambil ponselnya. Harap-harap ini bisa mengusir rasa bosannya. Aplikasi yang pertama kali Serena buka adalah WhatsApp, ada banyak pesan dari teman-temannya dan Serena ingin membalas itu. Namun, tindakan tidak sesuai dengan niat awal, Serena malah membuka kolom chat-nya dengan Biru yang ia pin, bertengger dipaling atas.

Serena membaca hampir semua pesan yang ada disana, termasuk pesan-pesan lama. Serena tidak pernah menghapusnya sejak mereka berpacaran, bahkan ketika mereka sempat putus, Serena membiarkan pesan-pesan itu tetap tinggal disana.

Ada banyak pesan lucu dan menyenangkan, ada juga beberapa perdebatan kecil, cukup banyak juga ia dan Biru berbalas foto-foto nyeleneh. Serena tersenyum kecil. Tidak dapat dipungkiri, hadirnya Biru menyempurnakan kebahagiaan yang Serena miliki.

Serena menghela napas panjang. Senyuman yang tadi sempat terukir itu kini benar-benar hilang. Gadis itu menaruh ponselnya dan merenung dengan arah pandang yang tertuju pada langit-langit kamar. Biru memenuhi setiap sudut yang ada dipikirannya.

Yang waktu itu ngeblokir gue bukan Biru, kenapa gue harus marah sama dia?

"Heh Serentul! Lo kenapa kayak orang banyak pikiran bener dah? Bengong gitu. Istighfar, Neng. Lagi di rumah sakit kita," tegur Dario saat menyadari Serena malah bengong.

"Kak, Biru gak salah, kenapa gue harus marah sama dia, ya?" tanya Serena, pandangannya masih tidak beralih.

Dario berdecak, ia mengambil sebotol air mineral dengan wajah malas dan meminumnya beberapa tegukan. "Biru lagi, Biru lagi. Lo gak bosen-bosen, ya, Ser, ngomongin si kuning tai itu?" balas Dario, melirik Serena dengan sinis. Adiknya ini Biru terus yang dibahas.

"Kan dia pacar gue, Kak," balas Serena.

Dario memutar bola mata malas, lidahnya menjulur keluar, bergaya seperti orang mau muntah."Bocil sok-sok pacaran, jadi bulol gini deh."

Namun, Serena tidak memedulikan Dario yang meledeknya. "Kak, mau chat duluan gengsi. Masa gue yang ngechat duluan ya, kan?" ucap Serena. "Semoga dia nanti chat atau kesini, ya?"

"Yeee ngarep lo cil bocil? Nanti kalau si Biru kesini gue usir!" Dario menggebu-gebu. Panjang umur amat hubungan bocil-bocil ini. Kalau mereka putus—harus putus, Dario ingin mereka putus—Dario akan menjadi orang yang paling heboh merayakannya.

AISLINNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang