Bagian 18

2.8K 113 18
                                    

Dua minggu berlalu, dan Aislinn merasa kalau Biru menghindarinya. Biru tidak berbicara padanya walau hanya sepatah kata, Biru membuang muka saat tidak sengaja bertatapan dengannya, Biru langsung berpindah posisi ketika mereka duduk atau berdiri berdekatan dan Aislinn sangat yakin kalau semua itu terjadi karena Serena. Mengingat, hubungan Biru dan Serena justru malah semakin membaik. Sebuah perbedaan yang kentara sekali.

"Gue pusing sama lemes banget deh, Ru. Bisa tolong anter ke klinik?" ucap Aislinn pada Biru. Lagi, Aislinn terpaksa berbohong untuk melihat apakah sahabatnya itu masih menaruh kepedulian padanya atau tidak.

"Sama Bajra aja ya, Linn," balas Biru, melepaskan rangkulan Aislinn secara paksa. Cowok itu kelihatan benar-benar tidak nyaman.

"Kenapa sama Bajra? Kenapa gak sama lo aja?" protes Aislinn.

Biru mengembuskan napas pelan, bersamaan dengan itu Biru mengalihkan arah pandangannya, menghindari kontak mata dengan Aislinn. "Serena, Linn," ucap Biru lirih.

Aislinn diam. Seperti ada sesuatu yang menghantamnya begitu keras. "Oh ... nanti dia cemburu, ya?"

***

Mungkin ini yang dinamakan kalau bicara itu harus yang baik-baik. Aislinn merasa kepalanya begitu pusing, badannya juga lemas, persis seperti kebohongan yang ia ucapkan pada Biru.

"Naik," ucap Bajra, menghentikan laju motornya tepat dihadapan Aislinn. Tangan cowok itu terulur, memberikan helm pada musuh bebuyutannya itu.

Kening Aislinn mengerut, tidak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh Bajra. "Ngapain?" tanya Aislinn dengan wajah kebingungan.

"Gue anter lo ke klinik. Lo lagi sakit, kan?"

Aislinn tersenyum getir. Hatinya berdenyut nyeri. Kesedihan menyerangnya secara tiba-tiba hingga membuat matanya sedikit berkaca. Sama Bajra aja, ya, Linn.

"Gak usah. Gue bisa sendiri," tolak Aislinn, kemudian meninggalkan Bajra dengan laju langkah yang cukup cepat. Gadis itu menyeka air matanya yang hampir terjatuh.

Bajra mengikuti Aislinn menggunakan motornya. "Udah, Linn. Naik apa susahnya, sih? Lo gak bisa ke klinik sendirian, kalau ada apa-apa dijalan gimana?" Nada bicara Bajra yang semulanya biasa saja kini mulai diwarnai emosi. Jujur, jika bukan pemaksaan dan amanat dari Biru untuk mengantarkan Aislinn ke klinik, Bajra tidak akan mau membujuk Aislinn seperti orang tolol begini. Semua dia lakukan atas dasar persahabatan, Biru sudah cukup banyak membantunya, dan tidak ada salahnya Bajra membantu Biru juga.

"Gue sama supir gue," balas Aislinn, masih tetap berjalan.

"Mana supir lo?"

"Belum sampe."

"Yaudah, ayo sekarang aja. Lo keburu pengsan nanti kalau kelamaan. Udah pucet banget muka lo, Linn."

"Gak usah, Bajra. Paling sebentar lagi juga sampe." Aislinn masih tetap teguh pada pendiriannya. Pemaksaan Bajra hanya membuat hatinya semakin perih. Walaupun apa yang Bajra lakukan padanya saat ini karena bentuk perhatian Biru padanya, tetapi Aislinn tetap kecewa. Aislinn ingin Biru. Bukan yang lain.

Bajra menghentikan laju motornya, dia membuang napas kasar dan menatap punggung Aislinn yang sudah cukup menjauh darinya dengan sorot mata malas. "Batu."

Sementara itu, Aislinn sibuk mengutak-atik ponselnya untuk menelfon Pak Dani.

"Halo, Pak? Bapak udah jalan?" tanya Aislinn saat itu juga saat Pak Dani mengangkat panggilannya.

AISLINNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang