Bagian 10

3.3K 151 12
                                    

Aislinn menangis hebat, pembicaraan dengan Papanya melalui sambungan telepon yang berakhir beberapa menit lalu membuat perasannya hancur lebur. Kenapa Papa tidak bisa mengerti dirinya? Kenapa Papa memaksanya untuk menjadi apa yang beliau inginkan? Kenapa Papa melarangnya menjadi seorang dokter? Kenapa Papa tega merampas impian terbesarnya sejak kecil demi memenuhi egonya?

"Jadi dokter? Gak, ya, Aislinn. Papa pengen kamu jadi penerus Papa."

"Papa tahu, kan, impian aku dari kecil itu apa? Salah satu alasan aku tetap stay di Indonesia walaupun gak sama Papa dan Mama ya karena impian aku, Pa!"

"Papa bilang gak, ya enggak, Aislinn Annora Morelalis."

"Papa kenapa egois, sih, Pa? Kan ini hidup aku, yang bakal ngejalanin aku!"

"Kamu yang egois! Harusnya kamu tahu posisi kamu itu apa! Anak tunggal William Morelalis! Kamu memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin Morelalis Company, Aislinn!"

"Terserah Papa! Yang jelas aku bakalan tetap perjuangin impian aku. Papa harus tahu, dimasa depan nanti anak Papa ini bakalan jadi dokter!"

Tangisan Aislinn semakin menjadi-jadi, belum pernah ia menangis sampai sebegininya. Bi Minah yang baru saja pulang membeli bahan makanan di pasar menghampiri Aislinn dengan begitu gusar. Tadi Aislinn masih baik-baik saja.

"Non, Non kenapa?" tanya Bi Minah khawatir. Wanita berusia kepala empat itu menuntun Aislinn untuk duduk dikursi meja makan, kemudian Bi Minah dengan tergesa-gesa memberikan segelas air putih pada Aislinn. Bi Minah mematikan kompor yang menyala-Aislinn sedang memasak makanan untuk bekal sekolahnya, belakangan ini gadis itu memang sedang belajar memasak-setelahnya Bi Minah duduk di kursi yang tepat berada di samping Aislinn.

Aislinn memegang gelas pemberian Bi Minah dengan tangan yang bergetar. Hatinya sesak luar biasa. Yang membuat semua terasa sangat menyakitkan karena Papa inkonsisten, dulu pria itu menjadi orang nomor satu yang mendukung impiannya, bahkan walau dengan berat hati, Papa menyetujui Aislinn untuk tetap tinggal di Indonesia demi cita-citanya. Namun, entah ada hal apa, Papa berubah dalam sekejap.

Bi Minah mengambil alih gelas tersebut kemudian menaruhnya di atas meja karena tangisan Aislinn semakin hebat. Merasa menangis memang harus diluapkan, Bi Minah tidak banyak bersuara. Dia hanya diam, setia menunggu Aislinn menyelesaikan tangisannya. Telapak tangan wanita itu mengelus punggung Aislinn dengan lembut.

Bermenit-menit kemudian, akhirnya tangisan Aislinn mereda.

"Non butuh temen cerita? Bibi siap dengerin, kok," ucap Bi Minah sembari menyodorkan segelas air putih kembali untuk Aislinn.

Aislinn meminum air putih tersebut beberapa tegukan, ia menatap Bi Minah dalam kemudian.

"Bi, kenapa Papa berubah?" tanyanya.

"Tiba-tiba aja Papa larang Aislinn jadi dokter dan minta Aislinn buat jadi penerus Papa jadi pemimpin perusahaan."

"Aislinn gak mau, Bi. Bibi kan tahu dari kecil Aislinn udah pengen banget jadi dokter."

"Non, Bibi gak bisa komentar banyak, tapi mungkin Non bisa bicarain hal ini lagi ke Tuan dilain waktu? Saat kondisi Non nanti udah lebih baik. Tanya sama Tuan apa alasannya Tuan mengubah keputusannya tiba-tiba. Maaf kalau Bibi salah ngomong, ya, Non," ucap Bi Minah berhati-hati, takut-takut ia salah berbicara.

"Gak, kok, Bi. Bibi bener. Makasih buat sarannya, ya, Bi. Aislinn bakal telfon Papa lagi nanti, tadi Aislinn emang shok berat denger kabar ini jadi ngomongnya sambil emosi. Tadi juga yang matiin telfonnya Aislinn."

"Tapi, Aislinn tetep sediiihhh, Biii! Huwaaa!"

"Sini Bibi peluk."

Aislinn berhambur kepelukan Bi Minah. Dia memeluk wanita itu dengan begitu erat. "Bi, makasih udah peduli sama Aislinn. Aislinn sayang banget sama Bibi!"

AISLINNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang