19. bertemu

564 23 0
                                    

warning

banyak typo bertebaran harap kalian bisa memahaminya :')

happy reading.

{>///<}

.
.
.
.
.
.
.

Berjalan tanpa arah, tenggelam dalam pikiranku, mengingat semua kejadian tadi. Sekarang aku tidak tahu harus kemana. Rumahku sudah tidak ada, sekolah sudah mengeluarkanku, dan aku tidak memiliki teman lagi. Semua orang membenci dan jijik padaku. 

 Mengapa harus begini? Aku ingin masa SMA yang bahagia, memiliki banyak teman, dan mengasah kemampuan untuk masa depan. Tapi mengapa semuanya menghilang? Masa SMA-ku hancur. 

 Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku sudah benar-benar tenggelam dan tidak bisa berenang ke arah atas. Aku biarkan air membawa aku ke bawah. 

 Namun, aku berhenti melihat ke samping dan mulai berjalan mendekati pebatas jembatan dengan suara aliran deras. 

Aku menatap aliran sungai itu."Mungkin saja ini bisa membuatku senang," gumamku dalam hati. 

 Aku memanjat ke pinggir pembatas dan menjatuhkan diriku. Namun, tiba-tiba aku terjatuh ke belakang seakan-akan ada seseorang yang menarik dari belakang.

Bokongku sakit terkena aspal. Aku melihat dengan cepat siapa yang menarikku dengan begitu kuat hingga aku jatuh. 

 "Kalau memang kamu memiliki masalah, bunuh diri bukanlah cara untuk menyelesaikannya," ucap seorang wanita dengan tegas sambil menatapku dalam mata

Aku terdiam, menatap mata sang wanita di depanku. Tanpa sadar, air mataku kembali jatuh. Sudah beberapa kali aku sering menangis. Wanita itu pun panik melihatku menangis.

 "Eh! Eh! Jangan menangis. Apakah aku punya salah? Atau aku gagal membantumu untuk mati?" ucapnya panik sambil berjongkok agar bisa melihatku lebih dekat. 

 "Tidak, hiks, tidak. Ini bukan hiks salahmu," ucapanku tercampur dengan tangis. 

Wanita yang terlihat berumur 30 tahun itu kebingungan. 

 "Ini semua salahku. Aku telah menghancurkan hidupku sendiri. Semuanya hancur berantakan. Dunia tidak ingin keberadaanku di sini," aku berkata sambil menangis. Wanita itu ikut bersedih. Rasa iba dalam hatinya bergejolak. 

Dia memegang tanganku dan membuatku mengangkat kepala. 

"sebaiknya kita bicara dirumah ku saja" saran wanita itu, aku hanya mengikuti. 


***


Sesampainya di rumah sang wanita, aku tercengang melihat betapa besar rumah itu. Ada empat lantai dan halaman rumah yang indah. Wanita ini pasti orang kaya, terlihat dari tampilan rumahnya.

Wanita itu membuka pintu kayu berukuran besar dan mempersilahkanku untuk masuk. Segera aku duduk di sofa merah marun yang dipadukan dengan warna emas. Sofa itu terasa sangat empuk, bahkan lebih nyaman dari kasur di rumahku.

Sambil menunggu wanita itu kembali dari dalam rumah, aku melihat-lihat sekeliling ruang tamu yang sangat mewah dan elegan. Banyak buku tersusun rapi, tropi emas memenuhi sebuah lemari kaca, dan di kiri dan kanan terdapat TV lumayan besar yang ditemani oleh sebuah akuarium yang berisi ikan kecil dan terumbu karang warna-warni yang mempercantik tempat ini. Rasanya sungguh enak memiliki kehidupan seperti ini.

"Maaf menunggu lama," wanita itu datang membawa nampan berisi teko dan beberapa biskuit.

"Maaf telah merepotkanmu," ucapku merasa tidak enak telah merepotkan orang asing.

my children but, not my child (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang