"Iya, Kak. Ini Jelita." Sahut Jelita. Juwita melongo.
Kok bisa Jelita yang angkat telepon? Batin Juwita.
"Kakak coba telepon kamu susah. Makanya telepon Evan." Cepat-cepat Juwita menetralisir keadaan.
Susah? Susah kenapa? Emang hp aku mati? Batin Jelita sembari memeriksa ponselnya. Nyala kok, aman.
"Ada apa, Kak?" Tanya Jelita.
"Hmmm ehh itu, kakak mau tanya resep risoles. Kemarin kalau nggak salah kamu kirim, enak. Syifa ketagihan, kakak mau coba bikin."
"Ohh... Boleh nanti Jelita kirim via chat ya, kak."
"Iya. Makasih. Ehh rame, lagi ada siapa?" Tanya Juwita pura-pura tidak tahu.
"Ini Jelita lagi di luar."
"Bukber?"
"Iya."
"Sama siapa?"
"Keluarganya Kak Evan. Mamanya Kak Evan berulang tahun."
"Ohh iya, salam buat Tante Lisa." Ujar Juwita.
"Iya." Tutup Jelita.
Beberapa menit kemudian, saat Jelita melihat Evan kembali dari toilet, Jelita pun segera mengembalikan ponsel Evan.
"Udah?" Tanya Evan.
"Udah. Nanyain resep risoles." Jawab Jelita singkat namun lengkap.
Meski terdengar janggal di telinga Evan. Evan tidak ada niat bertanya lebih lanjut atau sekedar memastikan apa yang ia dengar tidak salah. Ia hanya mengangguk kecil.
Nanya resep risoles ke nomor gue? Nggak salah, atau mungkin niatnya telepon Jelita tapi susah dihubungi makanya telepon gue? Batin Evan.
Acara diakhiri karena mereka harus bergegas ke mesjid terdekat. Beruntung Riri memilih restoran yang memang dekat dengan mesjid sehingga tarawih mereka tidak terlewat malam ini demi buka puasa di luar.
Jelita sujud penuh rasa syukur. Apa yang selalu ia panjatkan, ia dapatkan sekarang. Ia punya rumah yang ia idamkan. Bukan rumah dalam konteks fisik yaitu sebuah bangunan tapi rumah dalam artian tempat ia pulang dan tinggal.
"Nginap di rumah yuk?!" Ajak Lisa pada Evan dan Jelita.
"Nanti deh, kasian Bi Juju pasti udah nyiapin buat sahur. Mubazir." Sahut Evan.
"Bisa aja." Sikut Riri.
"Beneran, tanya Kak Lita." Ujar Evan meyakinkan. "Bi Juju itu suka prepare dari sekarang jadi kalau subuh tinggal tumis-tumis doang. Iya kan, Lit?" Evan mencolek Jelita, Jelita tersenyum lebar sembari mengangguk.
"Ya udah, tapi kapan-kapan kalian nginep lagi di rumah." Ujar Irwan.
"Iya, Pa." Angguk Evan.
***
"Kenapa?" Tanya Andi.
"Iya, orang mau tarawih malah ditarik ke warung kopi. Dasar si Arief." Cerocos Fero.
"Temenin gue." Ujar Arief pelan.
"Kenapa lu? Berantem sama bini?" Tanya Fero dengan dahi berkerut.
"Berantem sih nggak tapi gue ngerasa akhir-akhir ini dia lagi cari masalah." Cerita Arief.
"Maksudnya?"
"Iya, dia lagi nyebelin. Apa-apa salah, kalau disuruh susahnya minta ampun. Beda sama adeknya."
"Adeknya? Maksud lu yang akhirnya dinikahi si Evan?" Fero memastikan.
"Iya."
"Ehh iya gimana rasanya punya adek ipar mantan rival?" Tanya Andi sembari nyengir.
"Apa sih lu?!" Protes Arief.
"Suka ketemu kan pasti?" Tanya Andi lagi, penasaran.
"Suka."
"Emang adeknya kenapa? Bukannya cantikan kakaknya ya?" Tanya Fero.
"Cantik sih emang dapat Juwita, tapi kalau nyari istri kayaknya mending pilih adeknya." Seloroh Arief.
"Nyesel?" Tanya Andi.
"Ahh jangan-jangan lu gini karena lu nggak rela aja si Evan bahagia. Kayak waktu itu. Ngaku sama gue?!" Selidik Fero.
"Iya lu dengki amat sih sama di Evan perasaan?!" Timpal Andi.
Arief nyengir. Nggak rela? Dengki? Apa iya? Batin Arief.
***
"Langsung pulang atau mau beli sesuatu dulu?" Tanya Evan saat mobilnya mulai melaju.
"Hmmm...."
"Kenapa? Mau jajan dulu ya?" Tebak Evan. "Mau apa?" Tanyanya kemudian.
"Mau mampir bentar nggak di kedai es krim?" Tanya Jelita.
"Boleh." Sahut Evan yang sontak membuat Jelita tersenyum manis. Manja. Bibir Evan pun ikut mengulas senyum.
Tepat di kedai es krim yang dimaksud Jelita, Evan mulai menepikan kendaraan, dan memarkirkan kendaraannya iti di area parkir yang tersedia.
"Mau pesen apa?" Tanya Evan sembari membuka pintu kaca kedai tersebut.
"Sundae. Kak Evan mau?"
"Mau." Angguk Evan. "Aku mau smoothies." Tambah Evan.
Jelita lalu memesan, berdiri Evan di samping Jelita yang dengan sigap langsung membayar pesanan Jelita.
Mereka kini tengah menunggu. Tiba-tiba Jelita merasa ingin buang air kecil. Ia pun pamit ke toilet terlebih dahulu.
"Ehh yang barusan kamu sapa itu si Evan kan?" Tanya dua orang yang baru datang dan sempat melihat juga menyapa Evan di depan.
"Iya."
"Mantannya Juwita ya?"
"Iya."
"Cakep ya?!" Serunya yang diangguki lawan bicaranya. "Tapi kok bisa ya cowok secakep itu ditinggalin." Tambahnya.
"Heeh, mana perasaan lakinya yang sekarang biasa aja." Seloroh perempuan sebaya Juwita itu. "Maksudnya gantengan si Evan." Tegasnya.
"Denger-denger Si Evan malah jadi adik iparnya si Juwita lho."
"Yang bener?"
"Bener."
"Waah parah. Kok bisa sih?!"
"Nggak tahu. Selentingan sih gue juga dengernya. Soalnya Juwita nggak pernah mau bahas kalau pun ditanya."
"Jadi kasian ke adeknya."
"Kenapa?"
"Ya siapa tau dia cuma jadi tumbal." Ujarnya. "Secara persiapan udah matang kan waktu itu?!"
"Bisa juga nggak sih si Evan cuma mau balas dendam ke si Juwita dengan cara nikahin adeknya Juwita."
"Nah iya itu maksudnya. Ya namanya juga cowok. Apalagi yang kita tahu mereka kan serius banget ya hubungannya."
"Iya kaget gue pas tiba-tiba denger Juwita nikah tapi bukan sama tunangannya."
Jelita yang hendak kembali ke kursi tunggu seketika mematung di tempatnya karena tanpa sengaja mendengar perbincangan dua orang yang duduk tidak jauh dari toilet. Mendadak dada Jelita sesak. Seluruh tubuhnya melemas.
Ternyata bukan cuma Ayah dan aku aja yang pernah punya pikiran gitu. Kalau kebukti ternyata memang iya dan gitu kenyataannya, gimana? Batin Jelita yang mendadak hampa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jelita
RomanceJelita pernah sesumbar ingin memiliki pasangan seperti calon kakak iparnya. Bagaimana jadinya jika calon kakak iparnya itu tiba-tiba menjadi suaminya, bukan iparnya. Cuma cerita ringan ya ini... Happy Reading ❤️