Kini Milik Yang Lain

922 77 18
                                    

Arjuna menelan saliva. Sulit bagi ia untuk begitu saja menerima kenyataan. Pesona Jelita telah merasuki relung hatinya. Tapi melihat kemesraan Jelita dengan suaminya, Arjuna tahu diri. Ia harus balik kanan secepatnya. Kalau bisa saat itu juga.

Jelita tercekat mendapat perlakuan manis Evan. Tapi sebagai perempuan biasa, pipinya seketika merona.

"Lit, si berondong kenapa?" Tanya Raya.

"Nggak tahu, tadi juga sempet papasan dianya cuek." Jawab Jelita.

"Tapi bagus juga." Sahut Raya.

"Iya sih."

"Ya udah yuk mulai kerja."

"Semoga dia nggak ke counter gue." Harap Jelita yang tidak ingin moodnya dirusak Arjuna yang mendadak dingin. Maklum Jelita tipikal orang yang tanam tuai. Baik dibalas baik, dingin dibalas dingin, cuek dibalas cuek.

"Takut baper?" Tanya Raya.

"Iya, gue lagi haid. Mood gue tanpa digituin aja labil apalagi diperlakukan begitu. Terjun payung kayaknya." Papar Jelita.

"Bisa aja lu." Sahut Raya. "Ya udah semoga dia ke counter gue." Ujar Raya kemudian.

"Aamiin."

***

"Kak." Sapa Riri saat panggilan teleponnya terhubung.

"Apa?"

"Nanti bukber di luar yuk?!" Ajak Riri pada kakak satu-satunya itu.

"Dalam rangka?"

"Kak Evan lupa?" Tanya Riri agak terkejut. "Terlalu anda."

"Emang ada apa?"

"Mama ulang tahun, Kak Evan."

"Ohh ya?!"

"Ohh ya?!" Ledek Riri. "Iya." Pungkasnya gemas.

"Hehehe maaf lupa." Evan nyengir.

"Bisa kan?"

"Iya, ayo."

"Jangan lupa ajak Kak Lita."

"Iya."

"Ehh gimana?!" Tanya Riri kemudian.

"Gimana apanya?"

"Kak Lita."

"Baik, berjalan sesuai seperti yang kita omongin." Ujar Evan.

"Syukurlah." Ucap Riri lega. "Ya udah nanti aku kabari ya fix nya kita bukber di restoran mana."

"Oke." Tutup Evan.

***

Jelita yang tadi siang sempat menerima pesan singkat dari Evan juga Riri kini tengah bersiap. Dan saat jam kantornya benar-benar selesai, ia langsung bergegas pergi.

"Udah lama?" Jelita agak meringis, takut Evan sudah menunggunya lama di area parkir Asia Bank sore itu.

"Nggak, baru sampai kok. Udah?" Tanyanya, Jelita pun mengangguk. "Jalan sekarang?"

"Ayo."

Di tempat yang sudah dipesan Riri, tampak Irwan, Lisa dan Riri sudah sampai duluan dan kini mereka bertiga tengah bersantai dengan ponselnya masing-masing. Evan dan Jelita yang baru sampai itu pun segera menghampiri lalu menyalami Irwan dan Lisa.

"Telat?" Tanya Evan.

"Nggak. Malah kita nih yang kecepatan ke sini. Liat masih sepi gini. Malu-maluin." Cerocos Lisa yang sebenarnya agak keki karena menurutnya ini membosankan.

"Biarin anggap ngabuburit." Sahut Jelita.

"Ngabuburitnya bengong?" Tanya Lisa memastikan.

"Hmmm main games mau nggak, Ma?"

"Game apa?"

"Main game dapatin apa yang tertulis di kertas yang dipilih. Gimana?" Tanya Riri setelah memaparkan aturan permainan.

"Boleh." Lisa mengangguk, setuju.

Permainan dimulai. Suasana yang tadi sepi mendadak riuh saat Lisa yang berulang tahun selalu memilih kertas yang berisi sesuatu yang jauh lebih baik daripada kertas yang satunya lagi.

Juwita baru saja sampai rumah saat ponselnya berbunyi tanda ada pesan masuk. Benar saja ada dua pesan masuk ke ponselnya dalam waktu berdekatan. Pesan dari Fara. Juwita pun segera membuka.

Sebuah video dan pesan singkat lainnya yang mengabarkan kondisi terkini di lokasi.

Juwita menelan saliva saat melihat kemeriahan acara kumpul-kumpul keluarga Irwan.

Harusnya aku yang ada di sana. Batinnya. Aku pengen ada di sana. Tambahnya.

Dan benar saja sampai waktu berbuka puasa tiba, jiwa Juwita seolah tidak berada di antara keluarganya melainkan di tempat lain.

Juwita?! Dahi Evan berkerut saat mendapat panggilan telepon dari kontak bernama Juwita beberapa saat setelah buka puasa. Ia melirik Jelita yang tengah berbincang dengan Lisa dan Riri.

Ada apa orang ini telepon aku? Apa ada yang penting? Angkat jangan?! Batin Evan.

Angkat, Van. Batin Juwita yang sangat merindu mendengar sapaan Evan di telepon.

Evan menimbang baik buruk jika ia menerima panggilan tersebut. Mencari aman, ia pun memanggil Jelita.

"Ada apa, Kak?" Tanya Jelita.

"Tolong angkatin telepon." Pintanya sembari menyerahkan ponsel yang tengah berdering pelan itu.

Kak Juwita?! Jelita diam-diam menelan saliva.

"Aku ke toilet dulu ya?!" Pamit Evan. Jelita mengangguk pelan.

"Halo " Sapa Juwita senang saat panggilannya terhubung.

"Halo, kak." Balas Jelita.

"Je-li-ta?!" Juwita terbata.

JelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang