Prasangka

780 78 10
                                    

"Kenapa, Lit?" Tanya Evan sembari terus menyetir.

"Kenapa?" Jelita balik bertanya sembari melirik sekilas Evan.

"Iya, ada yang ketinggalan atau ada yang lupa?"

"Nggak ada." Geleng Jelita.

"Syukur deh, dikira ada yang ketinggalan."

"Kenapa gitu?"

"Nggak biasanya kamu diem gini. Takutnya ada apa." Ujar Evan apa adanya.

Takut apa yang pernah aku sama ayah takutin jadi nyata. Terlebih orang juga sepertinya punya dugaan yang sama bukan cuma aku sama ayah aja. Batin Jelita.

"Lit...." Panggil Evan lagi.

"Ehh iya, Kak."

"Kamu baik-baik aja kan?" Evan memastikan.

"Baik." Tegas Jelita. "Yuk turun. Aku ngantuk."

"Iya ayo." Angguk Evan.

Jelita berusaha biasa. Ia tidak ingin ditatap penuh selidik oleh Evan. Ya semenjak turun dari mobil Evan terus memindai dirinya.

Seperti saat sahur pagi ini, tatap Evan tidak pernah beranjak dari sosok yang duduk di hadapannya. Jelita salah tingkah sendiri dibuatnya.

"Kamu mulai puasa lagi?" Tanya Evan saat melihat Jelita komat kamit lafalkan niat puasa. Jelita mengangguk pelan. "Udah beres datang bulannya?" Jelita kembali mengangguk sembari meneguk air putih.

Juju yang tidak sengaja mendengar pertanyaan Evan seketika tersenyum simpul. Pikirannya mendadak traveling. Semoga mereka emang suami istri beneran, gemes liat mereka kalau udah gini. Batin Juju.

***

"Lit..."

"Ehh Mas."

"Waah spesial nih ditangani sama kamu." Seloroh Arief.

"Hah apanya yang spesial. Spesial itu kalau Mas Arief ditangani sama kepala cabang." Sahut Jelita.

"Bisa aja kamu."

"Bentar ya, Mas." Ujar Jelita yang langsung memproses transaksi perbankan Arief.

"Iya." Angguk Arief sembari memperhatikan gerak gerik Jelita. "Lit, kok sekarang jarang ke rumah Ibu?"

"Iya lagi banyak ini itu." Jawab Jelita tanpa menatap karena fokusnya ke layar komputer, ia tengah menginput nomor rekening Arief.

"Kapan nginep lagi? Kan rame kalau pada kumpul."

"Next time deh."

"Dilarang Evan ya?"

"Hah?!" Jelita menghentikan sejenak geraknya.

"Evan ngelarang kamu main ke rumah Ibu ya?!" Ulang Arief dengan merubah susunan kata.

"Nggak kok. Kak Evan nggak pernah larang apa-apa."

"Ohh dikira dilarang Evan."

"Nggak." Tegas Jelita.

"Gimana hubungan kamu sama Evan?"

"Maksudnya?" Dahi Jelita mengerut.

"Baik-baik aja kan?"

"Baik."

"Beneran?" Cerca Arief.

"Bener." Angguk Jelita dengan seulas senyum.

"Syukur deh."

Ini kenapa sih pertanyaannya gini amat, batin Jelita.

"Mas, ini ya?!" Jelita menyerahkan buku tabungan milik Arief itu.

"Makasih."

"Sama-sama, Mas."

Jelita menarik nafas panjang sepeninggalnya sang kakak ipar. Beruntung jam istirahatnya tiba sehingga Jelita bisa rehat sebentar sekaligus salat dzuhur di mushola kantor.

"Assalamu'alaikum." Sapa Evan saat panggilan teleponnya terhubung. Evan menelepon Jelita setelah ia menyadari jelita sudah membaca pesan yang ia kirim tadi.

"Waa'alaikumsalam."

"Gimana mau nggak?" Tanya Evan to the point.

"Serius?"

"Iya. Seru aja kayaknya sahur dan buka di kota orang. Gimana?"

"Boleh deh, aku juga belum pernah. Lumayan jadi pengalaman tersendiri kayaknya."

"Oke kalau gitu aku booking hotel sekarang." Pungkas Evan.

"Iya."

"Kamu itu lagi istirahat?"

"Iya, mau salat. Kak Evan udah salat?'

"Belum, abis nelepoy baru mau salat."

"Ya udah salat dulu yuk?"

"Ayo. Ya udah sampai ketemu nanti sore."

"Iya."

"Tungguin ya, nanti aku jemput."

"Iya." Tutup Jelita dengan seulas senyum tipis.

"Mbak, Jelita nggak masuk?" Tanya Juwita pada Hani, salah satu teller Asia Bank, rekan kerja Jelita.

"Masuk, lagi istirahat." Jawab Hani.

"Ohh...."

Juwita menatap sekeliling sembari menunggu transaksinya diproses Hani.

Dipikir-pikir enak jadi kamu, Lit. Selalu begitu. Meski telat, meski paling akhir, ujung-ujungnya kamu selalu dapat apa yang aku pengen. Selalu dapat yang paling baik. Batin Juwita.

JelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang