Bab 4: Terikat Tanpa Status

117 11 2
                                    

Ponsel di tangan Kalila terlempar ke sembarang arah di atas ranjang berseprai motif geometris

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ponsel di tangan Kalila terlempar ke sembarang arah di atas ranjang berseprai motif geometris. Ia merebahkan badan, menatap langi-langit kamar dengan kepala penuh pertanyaan dan kemungkinan jawaban. 

Segala ingatan tentang Haiyan adalah menyenangkan. Pria itu senior di Teater Semut Merah, tetapi bisa memperlakukan juniornya dengan baik. Dia tahu kapan harus bersikap tegas dan keras serta kapan menjadi teman sekaligus kawan nongkrong yang menyenangkan. 

Haiyan memiliki senyum yang mengingatkan Kalila pada bunga matahari di halaman depan, cerah dan memberi kesan hangat. Ia juga punya tatapan teduh. Siapa pun yang melihatnya akan merasa diperhatikan dan diperlakukan spesial. 

Sering, orang salah paham. Mereka menyangka menjadi bagian istimewa dalam semesta hidup Haiyan padahal hanya teman biasa. Untuk alasan itulah, Kalila selalu berusaha menindas debar di dada setiap kali bertemu Haiyan dan menganggapnya tidak lebih dari sekadar lawan main dalam pentas teater atau pembacaan puisi. 

Lalu, ketika enam bulan lalu Haiyan mengajak bicara empat mata di salah satu restoran, Kalila tidak punya pikiran lain selain akan ditawari proyek pementasan akhir tahun, salah satu agenda rutin Semut Merah. 

“Aku sudah di dalam. Di meja nomer 37.” 

Kalila membaca pesan di ponselnya ketika sudah berada di depan restoran Orion di dekat perempatan Tugu. Hari sudah sore. Cahaya matahari meredup dan langit mulai berubah warna. Kebetulan Kalila baru saja selesai memotret di seputar Tugu sehingga tidak sulit baginya memenuhi undangan Haiyan. 

Setelah merapikan jilbab, Kalila mengayunkan kaki menuju restoran. Suara Tulus bergema di telinga Kalila tatkala tubuhnya memasuki ruangan bernuansa etnik itu. Selarik senyum terbit di wajah Kalila saat menghidu aroma kopi panas. Ia selalu suka wangi kopi meski tidak terlalu menggemari minumannya. 

Dilihatnya Haiyan sibuk dengan tablet di meja yang terletak agak menjorok ke dalam. Segera dipangkasnya jarak. Dia tidak punya banyak waktu karena Papa tidak pernah mengizinkannya pulan lewat jam tujuh kecuali akan dijemput. 

“Maaf telat, Mas.” Kalila duduk di seberang meja. Diletakkannya ransel di lantai. 

“Masih satu menit sebelum waktu janjian.” Pria berkulit putih dengan rambut sedikit bergelombang itu melihat arloji kemudian melengkungkan bibir saat bertemu pandang dengan Kalila. 

“Ada project apa, Mas? Kok, tumben cuma ngajakin aku?” 

Biasanya, Haiyan akan mengundang semua anggota Geng 20 untuk ketemu jika ada proyek pementasan teater. Bukan apa-apa, angkatan 20 adalah angkatan tertua yang tersisa di Teater Semut Merah. Itu pun anggotanya tinggal lima biji, termasuk Kalila. 

“Ini nggak ada hubungannya dengan Semut Merah.” Haiyan mengusap rambut. Digesernya tablet ke samping. “Kita mesen makan dulu. Nggak seru ngobrol di resto tapi mulutnya nggak sambil ngunyah.” Pria itu tersenyum kikuk sembari melambaikan tangan pada pelayan berbaju adat Jawa. 

Asmaradhana (Sudah Tamat di Karyakarsa dan KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang