Bab 11: Siapa Lempar Batu Sembunyi Tangan

75 9 0
                                    

Segera setelah Kalila membuka chat room, pesan dari Haiyan datang bertubi-tubi. Pria itu mungkin sengaja menunggu balasan darinya sejak pertama kali mengirim pesan dua jam lalu. Sementara sampai sekarang Kalila sama sekali belum tergerak untuk membalas pesan Haiyan. 

"Karena kamu nggak jawab, aku anggap setuju." 

Yah, anggap saja begitu, tapi datang atau tidak, bukan urusanmu. Kalila membatin.

"Aku tunggu di Cirius jam empat."

Kalila menutup chat room, mengabaikan pesan terakhir Haiyan. Dimatikannya ponsel lalu  menyimpannya di ransel. Kalila khawatir Haiyan tiba-tiba menelepon. Ia sedang ingin makan tanpa gangguan.

Setelah itu, Kalila menggeser duduk. Kini posisinya membelakangi sawah dan menghadap dua petak kolam ikan yang permukaan airnya berkilau ditimpa cahaya matahari.  Dari tempatnya duduk, Kalila bisa melihat ikan-ikan berwarna kuning, putih, hitam, meliuk-liuk di permukaan air. Ia juga bisa mendengar riuh kecipak air saat karyawan melempar makanan ikan ke kolam. 

Makan sendirian karena Wibi masih ada perlu dengan karyawan, Kalila memilih saung paling ujung. Ia berharap bertemu sunyi meski ternyata ada dua wisatawan asing yang juga memilih saung di dekat kolam itu. 

Kalila tidak mengambil rehat terlalu lama. Satu paket nasi tutug tempe ludes dengan cepat. Setelahnya, Kalila melihat hasil jepretannya kemudian memberi tanda checklist pada poin-poin yang sudah dikerjakan. 

Seperti dugaan Kalila, ia baru selesai mengambil gambar ketika matahari mulai merangkak mendekati ufuk barat. Semilir angin menggerakkan batang-batang padi di belakang saung. Suhu udara semakin rendah dan Kalila menyesal karena lupa membawa jaket. Ia tadi berangkat dengan pikiran setengah kosong setengah isi. Selain tanpa jaket, ternyata ia juga memakai kaus kaki dengan warna berbeda, sebelah cokelat, sebelah putih. Kebiasaan buruk yang belum bisa ia hilangkan saat cemas atau sedih. Beruntung ia memakai rok panjang sehingga keteladanannya tidak terlihat oleh orang lain. 

Sejauh ini tidak ada yang berkomentar dengan kaus kaki beda warna itu, termasuk Wibi. Laki-laki itu mungkin sempat melihat saat Kalila naik ke saung, tetapi dia sepertinya bukan tipe manusia kepo. 

"Makasih banyak, Mbak Lila." Wibi tersenyum senang ketika melihat hasil jepretan Kalila. Meski masih foto mentah, tetapi sudah membuatnya sangat-sangat puas. Ia mulai berpikir untuk memperpanjang kerjasama karena minggu depan akan mengaktifkan media sosial. "Saya tunggu hasil final secepatnya." 

"Sama-sama, Mas. Saya akan kerjakan sesuai deadline yang kita sepakati." 

Wibi mengacungkan jempol. "Oh, iya, saya benar-benar berharap Mbak Lila bisa datang ke pesta kuliner dan memotret saya saat sedang beraksi."

"Akan saya pertimbangkan, Mas. Nanti saya kabari." 

"Saya tahu waktu Mbak Lila berharga. Saya tidak keberatan menambah fee." 

Kalila tersenyum sopan. "Sebenarnya bukan karena fee kalau saya terpaksa menolak, Mas. Tapi hari Minggu kadang Papa mengajak we time." 

"Oh, I see. Apa pun keputusan Mbak Lila, tolong kabari saya." 

Kalila mengiyakan permintaan Wibi. "Insyaallah cukup untuk hari ini. Saya pamit dulu, Mas." 

"Silakan." Wibi mengantar Kalila sampai halaman dan masih berdiri di sana sampai tubuh perempuan itu tak tertangkap matanya. 

Kalila melajukan motor dengan kepala sebising Jalan Kaliurang. Jika tidak menemui Haiyan, ia tidak akan tahu alasan pria itu memilih Gea. 

Sampai di kilometer 15, Kalila menepikan motor. Ditatanya langit sore seolah sesak di dada bisa dikirim ke sana dan ia bisa menjalani hidup dengan suasana hati lebih baik. 

Asmaradhana (Sudah Tamat di Karyakarsa dan KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang