Bab 10: Bimbang

103 9 0
                                    

Kalila memasukkan kamera dan laptop ke dalam ransel. Setelah Miranti pulang, sebenarnya hari ini ia ingin kembali masuk ke dalam gua. Kalila masih butuh menenangkan diri. Tentang ajakan Haiyan untuk bertemu, ia belum memberi keputusan. Pesan itu masih ia diamkan. Begitu pula dengan panggilan Haiyan, Kalila sama sekali tidak menggubris.  Kalila benar-benar bimbang. Satu sudut hatinya ingin bertemu demi menuntaskan ingin tahu kenapa Haiyan mendadak memilih Gea. Ibarat naik motor, Haiyan menyalakan lampu sein ke kiri, tetapi malah belok kanan. Sungguh membingungkan. Sementara  dii sisi lain, bertemu Haiyan adalah hal paling berat bagi Kalila saat ini. Ia terlalu sakit bahkan untuk sekadar melihat Haiyan. 

Di tengah bimbang, Mas Wibi, manajer restoran Omah Ndeso tiba-tiba menelepon, memintanya mengubah jadwal pemotretan produk, dari weekend menjadi hari ini. 

"Kekurangan pembayaran sudah saya transfer barusan. So, saya tunggu kedatangan Mbak Lila." 

"Baik, Mas. Saya akan datang sebelum jam dua belas." 

"Saya tunggu. Kebetulan saya sedang di sini hari ini. Jadi saya bisa menemani Mbak Lila jalan-jalan dan makan." 

Tak lama berselang setelah pembicaraan berakhir, notifikasi transfer masuk ke ponsel Kalila. Baiklah, ia memang sedang patah hati, tetapi urusan duit bisa membuatnya sedikit mengabaikan perasaan. Mamanya pernah berpesan agar ia pergi haji saat masih muda. Padahal daftar tunggu ibadah haji tidak jauh beda dengan waktu yang dibutuhkan untuk menunggu keputusan kapan manusia bisa pindah ke Mars. 

Satu-satunya jalan cepat pergi haji adalah dengan haji plus atau haji furoda yang biayanya cukup membuat Kalila jungkir balik cari uang.  Keluarganya memang tidak terlalu religius, tetapi pergi haji tetap menjadi prioritas.

Kalila bisa saja meminta pada Wisnu, tetapi ia sudah bertekad akan mewujudkan wasiat mamanya dengan uang hasil jerih payah sendiri. 

Dulu, Kalila berpikir akan pergi haji dengan Haiyan. Sepertinya, ia harus mengubur mimpi itu di dasar laut. Biar mimpi itu bermetamorfosis menjadi ikan-ikan kecil yang dimakan paus. 

“Aku harus pergi, Mouza.” Kalila menggendong Mouza yang tengah terkantuk-kantuk di atas keset. “Kita ketemu lagi nanti malam.” Dimasukkannya kucing gemuk berbulu lebat itu ke dalam kandang seluas dua meter persegi di teras belakang. Setelah mengisi wadah dengan makanan dan air, memastikan kandang terkunci, Kalila mengunci pintu rumah lalu memacu Scoopynya menuju restoran Omah Ndeso. 

Restoran taman itu ada di Jalan Kaliurang Km. 18, cukup jauh dari rumahnya di kompleks perumahan dekat Hotel Hyatt. Meski demikian, Kalila tahu jalan tikus menuju ke sana sehingga terhindar dari padatnya lalu lintas jalan utama. Saat itu memang weekday, tetapi Yogyakarta tetap saja ramai. 

Sergapan hawa dingin menyambut Kalila saat tiba di halaman restoran. Siraman cahaya matahari cukup terik, tetapi udara terasa dingin. Pandangan Kalila tertuju pada bangunan modern di seberang jalan Omah Ndeso. Papan kayu bertuliskan Kafe Cirius terpasang di antara rumpun anyelir di atas pagar rendah bercat krem. Pagar itu memisahkan halaman kafe dengan pedestrian. 

Kedua mata Kalila memicing. Ia memang tidak salah lihat. Kafe yang ditunjuk Haiyan berhadapan dengan Omah Ndeso. Apakah ini hanya kebetulan atau Haiyan kenal manajer restoran dan sengaja mengatur agar ia datang lebih cepat? 

Kalila menghela napas. Ia memilih opsi kebetulan. Meski bisa saja Haiyan kenal Mas Wibi, tetapi sampai repot-repot mengatur pertemuan jelas bukan tabiat Haiyan. Pria itu pribadi yang praktis dan tidak mau ribet. 

"Selamat siang. Dengan Mbak Kalila?" Perempuan dengan blouse batik dan rok hitam selutut menyapa Kalila. "Mari, Mbak, sudah ditunggu Mas Wibi," lanjutnya setelah Kalila mengangguk dan menjawab pertanyaannya.. 

Asmaradhana (Sudah Tamat di Karyakarsa dan KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang