Bab 12: Ancaman

73 8 0
                                    

"Maaf."

Hanya satu kata yang bisa meluncur dari bibir tipis Kalila. Kehilangan tak pernah mudah dan ia tidak pernah tahu kalau Farhan telah menanggung duka sejak kecil. Ia yang hanya kehilangan salah satu sayap saat sudah dewasa saja seperti didera mimpi buruk berkepanjangan, apalagi Farhan yang harus kehilangan dua kepak sayap saat dia masih sangat membutuhkan pelukan keduanya.

Mungkin karena itu Bang Farhan tidak banyak bicara. Bukankah duka bisa memerangkap manusia dalam ruang gelap bernama sunyi? Kalila menghela napas sembari mengaduk gelas. Ada hening di antara ia dan Farhan. Kalila kehilangan kata. Sekilas ia melihat seperti ada lapisan air di mata Farhan. Namun, Kalila tidak ingin memperhatikan lebih lama sehingga ia memilih memandang sisi barat kota Yogyakarta yang tampak dari tempat mereka duduk.

"Nanti orangtua saya akan diwakili Paman dan Bibi." Farhan kembali membuka obrolan. "Mereka tinggal di Jogja. Jadi, kapan saja bisa datang."

Kalila hanya mengangguk lalu menyeruput macchiato espressonya. Ia masih kehilangan kata.

"Saya juga sudah menyusun timeline pra sampai hari H. Sebentar saya kirim ke kamu."

Mendadak macchiato yang sedang diseruput Kalila terasa lebih dingin. Sampai detik ini, ia masih sulit mempercayai takdir hidupnya berubah begitu cepat. Dua bulan lagi ia akan berubah status lalu menjadi anggota ibu-ibu kompleks, ibu-ibu dharma wanita, ibu-ibu PKK, dasa wisma. Argh!!! Kalila memejamkan mata sementara kedua tangannya menutup telinga.

Teater Semut Merah.

Miranti.

Rencana travelling ke Ijen

Rencana menginap di rumah Tuan Boscha di Lembang.

Rencana backpacker ke Bali sampai Lombok.

Apa kabar semua itu? Ya, Allah, Kalila seperti ingin berteriak memanggil Miranti dan berkata, "Please, safe my life."

"La, kamu kenapa?" Farhan jadi berpikir jika ada yang salah dengan timeline yang baru saja ia susun. Eh, tapi, kan, Lila belum baca. "Kalau kamu ada yang nggak setuju, ngomong saja. Jangan dipendam. Daripada nanti mood kamu jadi jelek."

"Eh, eng..., saya nggak apa-apa, kok." Kalila menutup buku mimpi buruk yang mendadak terbit di kepala. Come on, Lila. Hadapi takdirmu.

"Itu tadi kenapa?"

"Eng ..., itu ...." Kalila menyeruput lagi macchiato-nya. "Saya ingat ujian skripsi." Huft, selamat! Ide yang dia butuhkan datang pada saat yang tepat.

"Oh, iya, tentang itu, kalau jadwal ujian kamu sudah keluar, kamu fokus saja. Saya yang akan urus semuanya."

"O-oke, Bang." Mendengar ucapan Farhan, tiba-tiba Kalila merasa akan menikah dengan Batman.

"Tolong kamu lihat katalog cincinnya dan timeline pernikahan kita." Ada jeda tercipta setelah Farhan mengucapkan dua kata terakhir. Akhirnya, sampai juga dia di titik ini. Sampai juga ia di beranda hati Kalila. Masih di beranda, belum bisa masuk, tetapi Farhan cukup senang. Perjuangannya merebut hati Wisnu selama ini tidak sia-sia. Begitu juga perjuangannya merebut Kalila dari Haiyan. Semesta memeluk doanya dan Tuhan mengabulkannya. "Kita bicarakan lagi nanti lewat wa," lanjutnya dengan dada berdebar. Bukan karena kebanyakan kopi, melainkan karena melihat paras Kalila yang sejak tadi berubah-ubah dan itu membuatnya gemas.

"Ya, Bang. Tapi saya nggak janji bakal fast response. Saya lagi banyak kerjaan banget."

"Iya, nggak apa-apa. Nunggu kamu bilang "ya" saja saya bisa sabar, kok. Apalagi cuma nunggu kamu milih cincin." Farhan tersenyum.

Asmaradhana (Sudah Tamat di Karyakarsa dan KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang