Bab 7: Titik Akhir

100 9 0
                                    

Wisnu diam sejenak, menatap putrinya lurus-lurus. Ada bahagia sekaligus khawatir yang bergumul di dada. Bahagia karena Wisnu tahu akan menitipkan putrinya pada orang yang tepat. Jadi, jika sewaktu-waktu dia pergi, Kalila akan meneruskan hidup dengan laki-laki yang ia percaya berperangai baik. Di sisi lain Wisnu khawatir karena ia tahu sifat Kalila. Ia takut gadisnya justru menjadi beban Farhan. 

"Papa bilang apa ke Bang Farhan?" Kalila mengulang pertanyaan karena Wisnu tidak segera menjawab. Meski bisa menebak, Kalila ingin memastikan. Siapa tahu sang papa berubah pikiran dan urung menjodohkannya dengan Farhan. 

Wisnu menyingkirkan setiap lintasan buruk yang sempat mampir dan menyesaki kepala. Bukankah Tuhan mengikuti prasangka hamba-Nya? Sebaiknya aku memelihara prasangka baik. Wisnu meneguhkan hati. Ada doa yang diucapkan diam-diam berbarengan masuknya udara ke rongga paru-parunya saat ia menghela napas sebelum memberi jawab. "Papa terima lamaran dia dan papa juga bilang kalau kamu setuju,” ujarnya kemudian dengan suara tenang, tanpa keraguan sedikit pun.

Binar di mata Kalila seketika meredup. Arah bola mata yang semula tertuju pada Wisnu beralih ke jam dinding. Kalila mengerjap karena penanda waktu itu menjelma seraut wajah Haiyan. Lalu, pergerakan jarum jam menghapus sedikit demi sedikit wajah Haiyan seolah waktu telah melipat semua harap, membungkus rapat-rapat keping-keping angan akan hidup masa depan yang sempat tumbuh di hati Kalila. 

"Apa tidak ada kesempatan buat Lila menikah dengan laki-laki yang Lila cintai, Pa? Seperti dulu Mama menerima Papa karena cinta." Kalila memberanikan diri menyanggah. Meski untuk melakukannya, ia harus menahan sesak di dada juga air mata yang mendesak-desak ingin segera keluar.  

Seumur hidup, baru sekali Kalila menentang sang papa. Ketika itu ia ingin memilih Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi Wisnu berharap Kalila bisa mengikuti jejaknya mengambil jurusan teknik. Kalila merajuk. Ia mengurung diri di kamar dan mogok makan sampai hati Wisnu luluh. Kali ini, Kalila tidak mungkin melakukan hal serupa, terlalu konyol dan kekanak-kanakan.  Lagi pula, menikah jauh lebih rumit ketimbang memilih jurusan. Ada kehidupan dunia dan akhirat di sana. Hati sang mungkin bisa direngkuh dengan mudah. 

"Seingat Papa, Papa sudah ngasih kesempatan buat kamu untuk menyodorkan calon lain. Tapi Papa tunggu, nggak ada satu nama pun yang kamu sebut. Papa anggap kamu belum ada calon." 

"Ada yang pernah berjanji pada Lila." Akhirnya Lila mengaku. Ia merasa tidak punya pilihan lain. “Maksudnya, dia sudah melamar Lila, tapi belum bisa ketemu Papa,” lanjut Lila saat melihat tatap penuh tanya milik Wisnu. 

Sesaat, raut muka Wisnu berkerut lalu kembali datar. "Siapa? Kenapa kamu nggak ngomong ke Papa?" Ada setitik kecewa dalam suara Wisnu. Ia tidak menyangka kalau diam-diam Kalila sudah terikat janji.

Kepala Kalila tertunduk. Bola matanya menatap piring yang isinya sudah dingin. Jemarinya meremas tepi rok. Mendadak perut gadis itu mulas. 

Menunggu, Wisnu kembali menyendok makanan hingga denting sendok beradu dengan piring mengisi jeda di antara mereka. 

Kalila mendongak sambil mengganjur napas. "Mas Haiyan." Ia menjawab dengan suara nyaris tak terdengar. 

Ah, pria itu. “Kalau begitu, minta Haiyan ketemu Papa secepatnya.”  

"Maaf, Pa. Mas Haiyan lagi sibuk. Lila sudah hubungi dia tapi belum ada waktu ketemu Papa. Mungkin setelah proyeknya selesai, dia akan ketemu Papa."

“Mungkin?” Wisnu menggeleng. “Dia tidak sesibuk yang kamu kira. Papa tunggu sampai besok Minggu. "

Kalila menyimpan baik-baik keputusan Wisnu. Selepas makan malam, ia mencoba menghubungi Haiyan dan berakhir sunyi. Pesannya sampai, tetapi tak kunjung dibaca dan teleponnya tidak diangkat. Ketika pagi datang dan Kalila membuka chat room, Haiyan hanya menuliskan dua huruf, "ya". Saat waktu yang diberikan Wisnu habis, Haiyan tetap tidak muncul. Hanya pesannya yang sampai, mengabarkan kalau ia masih di Purworejo diiringi kata maaf dan lagi-lagi janji untuk datang jika suatu hari sudah luang. 

Jawaban Haiyan menyudahi penantian Kalila. "Aku minta maaf tidak bisa menunggu lagi, Mas." Berat Kalila mengatakan, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia lelah mengejar, juga menunggu. Lebih baik ia mengikuti permintaan sang papa. 

“Please, La. Tolong ngertiin posisiku.” 

“Maaf, Mas. Aku nggak bisa nunggu lagi.” Kalila mengirim pesan terakhir. Setelah itu, ia tidak pernah lagi menjawab pesan dan mengangkat telepon Haiyan. 

Hari itu, sepekan setelah memutus kontak dengan Haiyan, Kalila menyerahkan draft final skripsinya. Rasa sakit di hati mendorong Kalila menuntaskan naskah skripsinya. Hampir setiap hari ia begadang. Sering ia mendekam di perpustakaan fakultas atau universitas hingga batas kunjung berakhir. Ditemani laptop dan buku tebal, Kalila berharap bisa melerai segala luka. 

“Cepet banget ngerjain revisinya, La?” Dosen pembimbingnya tersenyum kecil. “Diapain Prof. Wisnu sampai kamu ngebut begini?” 

“Mumpung lagi luang, Pak. Jadi saya selesaikan saja.” Kalila meringis. Ia berharap tidak ada revisi lagi dan bisa segera daftar ujian. Hari-harinya akan gelap dan Kalila tidak tahu masih sanggup berpikir waras atau tidak. Menerima Farhan dan melupakan Haiyan adalah bagian sangat sulit dalam hidupnya, lebih sulit dari mengerjakan skripsi dan diuji dosen paling killer di jagad Fakultas Ilmu Budaya. 

“Oke. Saya terima. Akan saya kabari segera hasil review-nya.” 

“Terima kasih, Pak.” Kalila mengangguk sopan kemudian berpamitan.  

Dari fakultas, Kalila bergerak ke markas Semut Merah. Tidak ada yang ingin dilakukannya selain duduk mengobrol dengan adik-adik tingkat, melihat mereka berlatih dan mendengar denting gitar meningkahi lantunan bait-bait puisi. 

Langkah Kalila terhenti di tengah halaman. Ia mengucek mata, tidak percaya dengan penglihatannya. Benar-benar ajaib, ada Haiyan sedang duduk di sana. Ia sedang berbicara dengan ketua Semut Merah periode tahun ini kemudian menekuri lembar demi lembar proposal di tangan. Lelaki itu terkejut sesaat, tetapi kemudian bisa bersikap wajar, ketika Kalila mendatangi mereka dan duduk tidak jauh darinya. 

"Kenapa Mas Haiyan menghindar?" Kalila tak dapat menyembunyikan kekesalan hatinya saat ketua Semut Merah sudah kembali ke sekelompok anak yang sedang latihan vokal. Kini mereka duduk berdua di serambi markas. 

"Aku minta maaf. Apa kita bisa bicara sekarang?" 

"Jawab saja pertanyaanku di sini. Kenapa kamu menghindar dan berbohong?" 

Haiyan menyugar rambut frustrasi. Pertemuan tak terduga dengan Kalila merusak rencananya.  "Aku benar-benar minta maaf. Aku terpaksa." 

"Jadi bener Mas Haiyan melamar Gea?" 

Haiyan melihat ke sekeliling. Panik. "Jangan ngomong di sini." Ia berdiri. Ditariknya tangan Kalila menjauhi markas. 

“Berhenti!” Kalila melepas cengkeraman Haiyan. "Jadi bener kamu  melamar Gea?" Kalila berkata dengan suara lebih keras, tidak peduli dengan tatap heran sekelompok anggota yang tengah duduk-duduk di bawah pohon dan sedang merencanakan pementasan akhir tahun. 

"Aku akan jelaskan. Tapi nggak di sini, La."

"Kalau gitu nggak usah. Hubungan kita selesai di sini. Besok aku kembalikan cincin dari Mas Haiyan." Kalila berlari meninggalkan Haiyan, mendekati motornya. 

"Dengar dulu, La. Kasih aku kesempatan meyakinkan keluargaku untuk membatalkan lamaran ke Gea." 

"Tidak perlu, Mas. Pilih perempuan yang diterima keluargamu. Jangan bawa aku ke situasi yang tidak menyenangkan. Ditolak itu nggak enak." 

Tiba-tiba mata Kalila tertuju pada motor yang baru memasuki halaman markas. Kalila tahu, Miranti datang memboncengkan Gea. Sementara Haiyan tidak tertarik sedikit pun untuk menoleh. Ia tetap berdiri di hadapan Kalila, menghalangi gadis itu meneruskan langkah.  

“Please, La. Tolong ngertiin posisiku. Aku masih memperjuangkan kamu, memperjuangkan kita.” 

"Cukup, Mas. Tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Kita sudah selesai."

"Nggak, La." Haiyan meraih tangan Kalila. "Aku cuma mau kamu. Aku tidak mencintai Gea." Kalimat itu meluncur cepat dari mulut Haiyan, menyatu dengan udara, menembus telinga Kalila, Miranti, dan Gea. 

Berempat, mereka mematung, sibuk dengan kecamuk pikiran. Lalu, raut muka Haiyan seketika sekusut benang ruwet ketika menyadari suara yang menerobos rongga telinganya adalah suara Gea. 


Asmaradhana (Sudah Tamat di Karyakarsa dan KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang