Bab 9: Masih Adakah Kesempatan?

99 9 0
                                    

Di atas bongkahan batu besar Haiyan berdiri. Bola matanya tertuju ke arah tanah luas yang sedang dikeruk untuk diubah menjadi waduk, tetapi kepalanya dipenuhi wajah sang papa, Gea, dan Kalila. 

Angin menerbangkan debu-debu, sebagiannya menampar wajah berkulit putih milik Haiyan yang tertutup masker. Udara diisi suara mesin pengeruk yang bekerja nyaris dua empat jam demi mengejar target waktu. 

Tanah ini dulu desa dengan area persawahan yang sangat subur. Haiyan tidak tahu, kenapa pemerintah memilih tempat ini untuk diubah menjadi waduk. Meski waduk itu akan menjadi penyuplai listrik, tetapi mengubah tanah produktif jelas sebuah tindakan gegabah. Satu hal yang ditentang habis-habisan pula oleh Wisnu dan mengakibatkan perdebatan sengit di antara Wisnu dan Haiyan. 

"Tidak seharusnya kamu menerima proyek yang ternyata hanya menjadi alat pembunuh massal." Raut muka Wisnu tetap datar saat bicara, tetapi suaranya terdengar dingin dan penuh tekanan. 

"Justru proyek itu akan menyelamatkan jutaan manusia, Prof. Pembangkit listrik tenaga air akan menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang bisa mengurangi ketergantungan manusia dari minyak bumi." 

Wisnu hanya tersenyum miris. "Pikirkan lagi, Anak Muda. Jangan hanya melihat sesuatu dari permukaan saja." 

Penentangan Wisnu bertambah keras ketika mengetahui jika batu andesit yang digunakan untuk membangun bendungan diambil dari salah satu bukit tersubur di Purworejo, penyangga sumber air bagi ribuan penduduk yang bermukim di sekitarnya. Keputusan yang menurut Wisnu terlalu berani dan akan mengorbankan kehidupan manusia pada tahun-tahun mendatang.

Haiyan bukan tidak pernah mengusulkan tempat lain. Namun, pemerintah bergeming. Pada akhirnya, demi sebuah kata pembangungan, proyek ini terus berjalan dan Haiyan menjadi bagian di dalamnya. Ia menjadi tim pengawas dari salah satu perusahaan konsultan konstruksi terkemuka di Indonesia. 

"Semua berjalan sesuai schedule, Pak. Sesuai saran Anda, kami sudah meminta tambahan alat berat agar proses pengerukan lebih cepat selesai." Manajer proyek yang menemaninya berujar mantap. Di tangannya terdapat papan kecil. Sebuah penjepit direkatkan pada papan itu, menjepit beberapa lembar kertas berisi schedule proyek. 

Haiyan masih mematung. Ia sedang berusaha mengumpulkan konsentrasi, menindas bayang-bayang Gea dan Kalila. 

"Bagaimana, Pak?" Melihat tidak ada respons dari Haiyan, pria bertubuh jangkung itu sedikit menelengkan kepala, menatap mata Haiyan yang tersembunyi di balik kacamata pelindung. 

"Oh, iya, apa pengajuan tambahan alat berat itu disetujui?" Haiyan menyahut cepat. Beruntung kesadarannya kembali tepat pada waktunya. Setidaknya ia selamat karena manajer proyek tidak menganggapnya sedang melamun. 

"Masih belum ada kabar. Barangkali Anda bisa membantu melobi." 

"Saya sudah kirim draft penyesuaian RAB. Saya kira mereka sedang mempelajarinya. Jadi kita tunggu saja. Kalau sampai minggu depan belum ada kabar, saya akan kontak mereka lagi."

Pandangan Haiyan belum beralih dari pergerakan alat-alat berat, tetapi saraf-saraf otaknya sudah tidak bisa diajak kompromi. Bahkan awan di langit mendadak menjelma wajah Gea dan Kalila. Andai bisa, Haiyan ingin berteriak sekeras mungkin sambil berharap angin bisa menyapu gulana di hati. 

"Saya kira cukup untuk hari ini." Haiyan menengok arloji. Baru jam sepuluh. Seharusnya ia di sini sampai sore, mengecek laporan-laporan dari manajer proyek dan mengirim ke kantor. Namun, hari itu ia merasa sangat lelah. Pikirannya terlalu letih untuk diajak bekerja. Lebih baik ia pulang dan rehat sejenak ketimbang memaksa tetap berada di sini, tetapi tidak menghasilkan apa pun. 

Asmaradhana (Sudah Tamat di Karyakarsa dan KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang