Happy Monday, Sahabat. Terima kasih sudah mampir dan baca karya saya. Enjoy reading bab ini, ya. Terima kasih juga sudah vote n komen ♥️
***
Farhan duduk di tepi bed rumah sakit. Kepalanya menunduk, kedua matanya terpejam sementara lengannya menegang dengan telapak tangan bertumpu pada ranjang.
Bapak.
Mamak.
Darah.
Pemakaman.
Hujan.
Tangisan Arham, adiknya.
Dengungan tetangga dan kerabat.
"Astaghfirullah." Dengan mata masih terpejam, Farhan bergumam pelan. Ia seperti ditimpa batu besar. Dihelanya napas dalam-dalam, mencoba mengenyahkan mimpi buruk yang mendadak hadir dan melemparya ke dalam kubangan luka masa lalu.
Orang bijak pernah berkata jika waktu adalah sebaik-baik penyembuh luka. Namun, pepatah itu tidak berlaku bagi Farhan. Ribuan detik, menit, jam, hari melewati hidupnya, tetapi ingatan itu enggan pergi. Dadanya tetap terasa sesak, hatinya nyeri. Sangat nyeri.
Andai ada penghapus ingatan, Farhan ingin membeli dan menggunakannya untuk menghilangkan sebagian masa lalunya. Andainya ada obat penghilang memori, ia juga rela membelinya meski harus menyerahkan semua harta yang dimiliki, asalkan kenangan itu tidak lagi menjadi mimpi-mimpi buruk yang terus menggelayuti hidupnya entah sampai kapan.
"Bang." Kalila yang sejak tadi berdiri di samping Farhan dan hanya diam, akhirnya bersuara. Ia masih syok, tidak menyangka tiba-tiba Farhan pingsan.
"Bang Farhan." Kalila mengulang panggilan karena khawatir dengan Farhan yang masih diam. Diberanikannya memegang salah satu lengan Farhan meski harus meredam debar di dada.
Kepala Farhan terangkat. Kelopak matanya terbuka lalu menoleh. Ia tersenyum. "Aku nggak apa-apa."
“Bang Farhan sakit? Kenapa nggak bilang?”
“Aku baik-baik saja.”
Tatap heran Kalila menyapu wajah Farhan. Tidak sakit, tetapi pingsan. "Bang Farhan kenal orang yang kecelakaan tadi?" Hanya ada satu kemungkinan yang terlintas di telinga Kalila jika Farhan pingsan, tetapi tidak sakit. Ia kenal korban dan syok.
"Tidak." Farhan turun dari ranjang.
"Terus, kenapa pingsan waktu lihat orang itu?" Tubuh Kalila berdiri tepat di depan Farhan, menahan pria itu sehingga terkunci di tempat.
Bola mata Farhan tertuju pada tirai pemisah tempat tidurnya dengan bed lain di ruang gawat darurat. Ia harus mencari jawaban yang bisa menghentikan pertanyaan Kalila. Ia belum siap berbagi cerita pada Kalila. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan Kalila.
"Aku hanya ingat Mamak." Akhirnya jawaban itu yang terlintas di benak Farhan.
Kalila mengangguk mafhum. Korban adalah perempuan, mungkin seusia Farhan. Wajar jika suaminya ingat ibunya dulu.
"Yuk, pulang. Kita sudah meninggalkan Prof. Wisnu sangat lama."
"Sebenarnya, kita masih harus nunggu hasil lab." Kalila masih diam di tempat. Tangannya meremas tepi rok seraya menatap Farhan dengan sorot takut-takut.
"Hasil lab?"
Kalila mengangguk. "Tadi saya minta dokter memeriksa Bang Farhan. Saya khawatir Bang Farhan seperti Papa."
Senyum geli yang terbit setelah mendengar jawaban Kalila menghapus ketegangan di wajah Farhan. "Aku pingsan bukan karena penyakit. Tidak perlu cek lab dan pemeriksaan apa pun." Sekuat tenaga Farhan menahan tangannya agar tetap tersimpan di saku karena ia sangat ingin mengusap kepala Kalila. Perempuan itu terlalu menggemaskan di mata Farhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaradhana (Sudah Tamat di Karyakarsa dan KBM App)
RomanceJudul di KBM: Mendadak Ijab Sah Kalila memiliki impian sendiri tentang pernikahan yang akan dijalani dengan Haiyan, salah satu seniornya di klub teater. Lelaki itu berjanji akan datang melamar dalam jangka waktu satu tahun setelah tabungannya cukup...