Dering alarm ponsel membangunkan Kalila. Susah payah ia membuka mata karena kepalanya terasa berat. Dilihatnya jam dinding. Jam setengah empat, enam puluh menit sebelum subuh. Kalila mencoba bangun, tetapi ketika tubuhnya sudah tegak dan kakinya menyentuh lantai kamar, bumi seperti berputar hebat dan dilihatnya isi kamar seolah jungkir balik.
Sesaat Kalila menangkupkan kedua tangan ke wajah lalu menarik napas dalam-dalam, berharap kepalanya tak lagi berat setelah memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru-paru. Namun, upayanya tidak membuahkan hasil. Ketika ia berdiri, tubuhnya hampir limbung sehingga Kalila memutuskan untuk kembali duduk.
Lagi, Kalila menghela napas. Ya, Allah, saya izin absen tahajud malam ini karena sakit. Lantas Kalila kembali bergelung di balik selimut. Ia juga merasa wajahnya sangat panas, terutama di sekitar mata dan hidung sampai-sampai kedua matanya seperti berair.
Ketika azan Subuh terdengar, Kalila menyibak selimut dengan panik. Ia harus segera salat dan memasak. Dengan kepala berat, ia bangkit dan bergerak perlahan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Usai salat Subuh, Kalila menguatkan diri untuk pergi ke dapur. Di kepala Kalila hanya ada Wisnu, sarapan pagi, dan obat yang harus diminum. Ia menjepit asal rambutnya kemudian menyambar jilbab di gantungan baju. Dengan tangan berpegang pada benda-benda yang dilalui, Kalila berjalan menuju dapur.
Kalila mengernyit melihat lampu ruang makan menyala. Lalu, didengarnya lengkingan cerek dan deru blender dari arah dapur. Siapa yang ada di dapur sepagi ini? Rasanya tidak mungkin polisi-polisi itu masuk rumah apalagi sampai dapur.
Polisi-polisi itu memang menginap, tetapi biasanya mengambil minum dari garasi. Sudut tempat itu sudah diubah menjadi mini pantry. Ada dispenser di sana dan kompor gas satu tungku. Mereka bisa menyeduh kopi atau sekadar memasak mie kapan saja. Jadi, tidak mungkin polisi itu ada di dapur apalagi tanpa seizinnya.
Penasaran, Kalila mempercepat langkah, sedikit mengabaikan kepala yang terasa berat. Ayunan kakinya terhenti di ambang pintu dapur.
"Bang Farhan? Kok, ada di sini?" serunya dengan tatap penuh tanya. Dilihatnya Farhan sedang menuang air panas ke dalam cangkir, masih memakai sarung dan peci. Aroma kopi segera memenuhi dapur.
Farhan menengadah. "Memangnya aku harus ada di mana, Lila?" Ia tersenyum lalu menuang sisa air panas ke dalam termos. Setelah itu ia menuang jus ke dalam gelas dan meletakkannya di atas nampan.
Kalila membuang napas kasar. Kamu sudah menikah, Lila. Dia suamimu! Astaghfirullah. Kalila mencubit lengannya, memastikan kalau dia tidak sedang mimpi apalagi halusinasi.
"Kamu pucat sekali. Sepertinya kamu demam. Tadi badan kamu panas."
"Bang Farhan pegang-pegang saya?" Kalila berseru panik. Refleks ia menyilangkan kedua lengan di depan dada.
Farhan yang sedang menyeduh teh kamomil tersenyum geli. "Cuma pegang jidat saja. Nggak usah khawatir." Diletakkannya cangkir teh tidak jauh dari cangkir kopi. "Diminum dulu. Setelah itu istirahat saja."
Farhan pergi, membawa nampan kemudian kembali dengan kaus dan celana selutut. Ia duduk di dekat Kalila, menghadap cangkir kopinya. Dari aromanya, Kalila bisa menebak jika Farhan tidak mencampur bubuk kopi dengan bahan lain selain gula.
"Capek?"
Kalila mengangguk. Diteguknya teh tanpa melihat Farhan. Ia masih bingung dengan semua yang terjadi. Bumi seolah berputar lebih cepat sejak Wisnu sakit. Ada begitu banyak peristiwa yang harus dihadapi dan ia seperti tidak punya waktu untuk bersiap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaradhana (Sudah Tamat di Karyakarsa dan KBM App)
RomanceJudul di KBM: Mendadak Ijab Sah Kalila memiliki impian sendiri tentang pernikahan yang akan dijalani dengan Haiyan, salah satu seniornya di klub teater. Lelaki itu berjanji akan datang melamar dalam jangka waktu satu tahun setelah tabungannya cukup...